Pengertian HIV
HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah
sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat
menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang
memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel
limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan
berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam
mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem
kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang
dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV)
nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai
nol) (KPA, 2007c).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan
lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus
RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat
menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi
secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe
secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang
paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup
HIV-1 (Zein, 2006).
Pengertian AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno
Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat
menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia
mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman,
virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini,
sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang
hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun
akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan
AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri,
parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik.
Etiologi dan Patogenesis
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya
adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan
CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka
dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase.
Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif.
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya
adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan
CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka
dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase.
Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif.
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala
konstitusional dan penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau
neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama
tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama
tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada
awal infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para
pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat
rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian
tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas
dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).
Cara Penularan
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan
yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan
air susu ibu. Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu :
1. Seksual : Penularan
melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara
penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama
laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti
kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua
individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak
terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah
atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik
atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang
terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkotik
suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan
medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas
kesehatan.
4. Melalui silet atau
pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan karena dapat
menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan sepenuhnya
sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi
organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke
anak: Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui
pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.
Terdapat
resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu pekerja
kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci,
2000). Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan
infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada
pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas
HIV (Fauci,2000).
Gejala Klinis; Menurut KPA (2007) gejala
klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala
mayor (sering terjadi) dan gejala minor (tidak sering terjadi)
Gejala mayor:
a.
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b.
Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c.
Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d.
Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV
ensefalopati
Gejala minor:
a.
Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b.
Dermatitis generalisata
c.
Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d.
Kandidias orofaringeal
e.
Herpes simpleks kronis progresif
f.
Limfadenopati generalisata
g. Retinitis
sitomegalovirus
Menurut Mayo Foundation for
Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala
klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal :
Pada awal infeksi, mungkin
tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang
ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam
dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala
infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
b. Fase lanjut:
Penderita akan tetap bebas
dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan
perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan
mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah
bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam,
batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir:
Selama fase akhir dari HIV,
yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih
berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang
disebut AIDS.
Pengobatan
Pemberian
anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para penderita
menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat
disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi
sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri
dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor,
nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse
transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya
berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus
yang telah berkembang (Djauzi dan Djoerban,2006).
Vaksin
terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah
baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian vaksin
HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan
untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi
virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV
cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak
tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer
(Brooks, 2005).
Pencegahan
Menurut Muninjaya (1998), tiga cara untuk pencegahan
HIV/AIDS adalah Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak
(menunda) melakukan hubungan seks, Setia (S) pada pasangan seks yang sah (be
faithful/fidelity), artinya tidak berganti-ganti pasangan seks, dan
penggunaan Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan seks yang beresiko
tertular virus AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya. Ketiga cara
tersebut sering disingkat dengan PSK.
Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks
(remaja) perlu diberikan pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk
remaja juga perlu dilengkapi informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja
akan berbagai bentuk rangsangan dan rayuan yang datang dari lingkungan
remaja sendiri (Muninjaya, 1998).
Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita
tidak dapat melakukan tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS karena
tidak adanya obat-obatan atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh
karena itu kita perlu melakukan pencegahan sejak awal sebelum terinfeksi.
Informasi yang benar tentang AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak
mendapat berita yang salah agar penderita tidak dibebani dengan perilaku yang
tidak masuk akal (Anita, 2000).
Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan
intervensi faktor perilaku sehingga perilaku individu, masyarakat maupun
kelompok sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan
berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate
impact) dari pendidikan kesehatan. Kemudian perilaku kesehatan akan
berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome)
pendidikan kesehatan. (Notoadmodjo, 2007)
Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang
masalah AIDS adalah salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara
spesifik di Indonesia khususnya kelompok masyarakat ini. Namun dalam
pelaksanaannya masih belum konsisten (Muninjaya, 1998).
Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan
mempunyai arti yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur
sekolah dan secara politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah
satu kelompok sasaran remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di
lingkungan sekolah (closed community) (Muninjaya, 1998).
Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya
jiwa menyebabkan remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan
ingin diterima dalam lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu
diperlukan peningkatan keimanan dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama.
(BNN, 2009)
Sebagian masyarakat Indonesia menggangap bahwa seks
masih merupakan hal yang tabu. Termasuk diantaranya dalam pembicaraan,
pemberian informasi dan pendidikan seks. Akibatnya jalur informasi yang benar
dan mendidik sulit dikembangkan (Zulaini, 2000).
Cara-cara
mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman yaitu dengan
melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam vagina, anus,
ataupun mulut. Bila air mani tidak masuk ke dalam tubuh pasangan seksual maka
resiko penularan akan berkurang. Apabila ingin melakukan senggama dengan
penetrasi maka seks yang aman adalah dengan menggunakan alat pelindung berupa
kondom (Yatim, 2006).
Hindari
berganti-ganti pasangan dimana semakin banyak jumlah kontak seksual seseorang,
lebih mungkin terjadinya infeksi. Hindari sexual intercourse dan lakukan
outercourse dimana tidak melakukan penetrasi. Jenis-jenis outercourse
termaksuk masase, saling rangkul, raba, dan saling bersentuhan tubuh tanpa
kontak vaginal, anal, atau oral (Hutapea, 1995).
Bagi
pengguna obat-obat terlarang dengan memakai suntik, resiko penularan akan
meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat pengetahuan mengenai beberapa
tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan untuk
menghentikan penggunaan obat tersebut.
Bagi
petugas kesehatan, alat-alat yang dianjurkan untuk digunakan sebagai pencegah
antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pelindung muka
atau masker, dan pelindung mata. Pilihan alat tersebut sesuai dengan kebutuhan
aktivitas pekerjaan yang dilakukan tenaga kesehatan (Lyons, 1997).
Bagi seorang ibu yang
terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut kepada bayinya ketika masih
dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. ASI juga dapat menularkan HIV,
tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat mengandung maka ada
kemungkinan si bayi lahir sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar seorang
ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV +. Bayi yang tidak diberi ASI beresiko
lebih besar tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi (Yatim, 2006). Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat
pengobatan selama hamil maka dapat mengurangi penularan kepada bayinya sebesar
2/3 daripada yang tidak mendapat pengobatan (MFMER, 2008).
No comments:
Post a Comment