HIV (Human Immunodeficiency Virus) Part II

Pengertian HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007c).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).

Pengertian AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain.
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik.



Etiologi dan Patogenesis
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).

Cara Penularan
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu :
1. Seksual : Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak: Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci, 2000). Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV (Fauci,2000).

Gejala Klinis; Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (sering  terjadi) dan gejala minor (tidak sering  terjadi)
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis sitomegalovirus





Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal :
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
b. Fase lanjut:
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir:
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.

Pengobatan         
Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah berkembang (Djauzi dan Djoerban,2006).
Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer (Brooks, 2005).

Pencegahan
Menurut Muninjaya (1998), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS adalah Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan hubungan seks, Setia (S) pada pasangan seks yang sah (be faithful/fidelity), artinya tidak berganti-ganti pasangan seks, dan penggunaan Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan seks yang beresiko tertular virus AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya. Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan PSK.
Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu diberikan pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk rangsangan dan rayuan yang datang dari lingkungan remaja sendiri (Muninjaya, 1998).
Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat melakukan tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak adanya obat-obatan atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena itu kita perlu melakukan pencegahan sejak awal sebelum terinfeksi. Informasi yang benar tentang AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak mendapat berita yang salah agar penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak masuk akal (Anita, 2000).
Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Kemudian perilaku kesehatan akan berpengaruh pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. (Notoadmodjo, 2007)
Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS adalah salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia khususnya kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum konsisten (Muninjaya, 1998).
Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan mempunyai arti yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed community) (Muninjaya, 1998).
Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima dalam lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu diperlukan peningkatan keimanan dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama. (BNN, 2009)
Sebagian masyarakat Indonesia menggangap bahwa seks masih merupakan hal yang tabu. Termasuk diantaranya dalam pembicaraan, pemberian informasi dan pendidikan seks. Akibatnya jalur informasi yang benar dan mendidik sulit dikembangkan (Zulaini, 2000).
Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman yaitu dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam vagina, anus, ataupun mulut. Bila air mani tidak masuk ke dalam tubuh pasangan seksual maka resiko penularan akan berkurang. Apabila ingin melakukan senggama dengan penetrasi maka seks yang aman adalah dengan menggunakan alat pelindung berupa kondom (Yatim, 2006).
Hindari berganti-ganti pasangan dimana semakin banyak jumlah kontak seksual seseorang, lebih mungkin terjadinya infeksi. Hindari sexual intercourse dan lakukan outercourse dimana tidak melakukan penetrasi. Jenis-jenis outercourse termaksuk masase, saling rangkul, raba, dan saling bersentuhan tubuh tanpa kontak vaginal, anal, atau oral (Hutapea, 1995).

Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan memakai suntik, resiko penularan akan meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat pengetahuan mengenai beberapa tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan untuk menghentikan penggunaan obat tersebut.
Bagi petugas kesehatan, alat-alat yang dianjurkan untuk digunakan sebagai pencegah antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pelindung muka atau masker, dan pelindung mata. Pilihan alat tersebut sesuai dengan kebutuhan aktivitas pekerjaan yang dilakukan tenaga kesehatan (Lyons, 1997).
Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut kepada bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. ASI juga dapat menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat mengandung maka ada kemungkinan si bayi lahir sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar seorang ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV +. Bayi yang tidak diberi ASI beresiko lebih besar tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi (Yatim, 2006).  Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil maka dapat mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak mendapat pengobatan (MFMER, 2008).

Anda sedang membaca artikel tentang HIV (Human Immunodeficiency Virus) Part II dan anda bisa menemukan artikel HIV (Human Immunodeficiency Virus) Part II ini dengan url http://mantankoas.blogspot.com/2016/04/hiv-human-immunodeficiency-virus-part-ii.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel HIV (Human Immunodeficiency Virus) Part II ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link HIV (Human Immunodeficiency Virus) Part II sebagai sumbernya.

No comments:

Post a Comment