Showing posts with label Patofisiologi. Show all posts
Showing posts with label Patofisiologi. Show all posts

Gambaran Morfologi Inflamasi akut & Kronik

Tingkat keparahan respons inflamasi, penyebab spesifiknya, dan jaringan khusus yang terlibat, semuanya dapat mengubah gambaran morfologi dasar inflamasi akut dan kronik.

Inflamasi Serosa
Radang ini ditandai dengan keluarnya cairan yang berair dan relatif sedikit protein (Efusi). Lepuh pada kulit yang berasal infeksi karena luka bakar atau virus merupakan contoh yang baik dari efusi serosa, yang terakumulasi di dalam ataupun serta merta di bawah epidermis kulit.

Inflamasi Fibrinosa
Radang ini terjadi akibat jejas yang lebih berat, yang dengan permeabilitas vaskular yang lebih besar memungkinkan molekul yang lebih besar (khususnya Fibrinogen) dapat melewati barier endotel.

Inflamasi Supurativa (Purulen)
Radang ini terlihat dengan adanya sejumlah besar Eksudat Purulen (Pus) yang terdiri ats neutrofil, sel nekrotik, dan cairan edema. Organisme tertentu (misalnya, Stafilokokus) lebih mungkin untuk menginduksi supurasi terlokalisasi ini sehingga disebut sebagai Piogenik. Asbes merupakan sekumpulan pus fokal yang dapat disebabkan oleh penyemaian organisme piogenik yang dalam ke dalam jaringan atau oleh infeksi sekunder fokus nekrotik.

Ulserasi
Ulserasi menunjukkan tempat inflamasi yang permukaan epitelnya (kulit, epitel gaster, mukosa kolon, epitel vesika urinaria) telah menjadi nekrotik dan terkikis, sering kali karena inflamasi akut dan inflamasi kronik subepitel. Dapat terjadi karena cedera toksik atau cedera traumatik pada permukaan epitel atau mungkin akibat gangguan vaskular

Efek Sistemik Inflamasi   
 
Demam hanya salah satu dari berbagai efek sistemik inflamasi yang lebih nyata; efek lainnya, yaitu Peningkatan Somnolen, Malaise, Anoreksia, Degradasi Protein Otot Skelet yang dipercepat, Hipotensi, Sintesis Hepatik berbagai protein (misalnya, protein komplemen dan protein koagulasi), dan Perubahan Pool Leukosit dalam sirkulasi.

Leukositosis (peningkatan leukosit) merupakan gambaran umum reaksi radang, khususnya yang diinduksi oleh infeksi bakteri. Leukosit dapat melonjak yang disebut juga Reaksi Leukomoid.

Sebagian besar infeksi bakteri menginduksi peningkatan Sel Polimorfonuklear (Neutrofilia) yang relatif selektif, sementara infeksi parasit (dan juga respons alergi) secara khusus akan menginduksi Eosinofilia. Virus tertentu, seperti mononukleosis infeksiosa, gondongan (mumps), dan rubela, menimbulkan peningkatan selektif pada limfosit (Limfositosis). Namun demikian, sebagian besar infeksi virus, riketsia, protozoa, serta jenis infeksi bakteri tertentu (demam tifoid), disertai dengan penurunan jumlah leukosit dalam sirkulasi (Leukopeni). Leukopeni juga ditemukan pada infeksi yang sangat banyak terdapat pada pasien yang tidak berdaya akibat, misalnya, kanker yang menyebar.

Perubahan yang diinduksi oleh upaya tubuh untuk menyembuhkan kerusakan, yaitu suatu proses Perbaikan. Perbaikan mulai terjadi hampir segera setelah dimulainya perubahan peradangan dan mencakup beberapa proses, yaitu proliferasi, diferensiasi, dan deposisi matriks ekstraselular.


Reference:

Robbins, Kumar and Cotran. 2007. Buku ajar Patologi. Jakarta. EGC (Penerbit Buku Kedokteran)

Inflamasi Kronik

Inflamasi kronik dapat dianggap sebagai inflamasi memanjang (berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, bahkan menahun), dan terjadi inflamasi aktif, jejas jaringan, dan penyembuhan secara serentak.
Inflamasi kronik ditandai dengan hal-hal berikut:
(1)   Infiltrasi Sel Mononuklear, yang mencakup makrofag, limfosit, dan sel plasma.
(2)   Destruksi Jaringan, sebagian besar diatur oleh sel radang
(3)   Perbaikan, melibatkan proliferasi pembuluh darah baru (Angiogenesis) dan fibrosis
Perubahan ini terjadi ketika respons akut tidak teratasi karena agen cedera yang menetap atau karena gangguan proses penyembuhan normal.
Fibrosis, secara khusus –proliferasi fibroblas dan akumulasi matriks ekstraselular yang berlebiha- merupakan gambaran umum pada banyak penyakit radang kronik dan merupakan penyebab penting disfungsi organ.


Inflamasi kronik terjadi pada keadaan sebagai berikut:
-. Infeksi Virus
-. Infeksi Mikroba
-. Pejanan yang lama terhadap agen yang berpotensi toksik
-. Penyakit Autoimun

Sel dan Mediator Inflamasi Kronik

Makrofag
Merupakan hal utama dan inti pada inflamasi kronik. Makrofag merupakan sel jaringan yang berasal dari monosit dalam sirkulasi setelah beremigrasi dari aliran darah.
Setelah aktivasi, makrofag menyekresi produk yang aktif secara biologis dalam jumlah beragam, yang apabila tidak diawasi, dapat menyebabkan jejas jaringan dan menimbulkan tanda fibrosis inflamasi kronik. Prosuk tersebut mencakup:
-. Protease Asam & Protease Netral. Protease netral juga terlibat sebagai mediator kerusakan jaringan pada inflamasi akut.
-. Komponen Komplemen & Faktor Koagulasi
-. Spesies Oksigen Reaktif & NO
-. Eikosanoid
-. Sitokin
-. Berbagai Faktor Pertumbuhan yang mempengaruhi proliferasi sel otot polos dan fibroblas, serta produk matriks ekstraselular.
Di tempat peradangan kronik, akumulasi makrofag menetap, dan makrofag dapat berproliferasi.

Limfosit, Sel Plasma, Eosinofil, dan Sel Mast
Merupakan sel yang muncul pada inflamasi kronik. Limfositnya merupakan Limfosit T (dari Thimus) dan Limfosit B (dari Sumsum Tulang). Sel limfosit T sendiri memiliki hubungan timbal balik terhadap makrofag pada inflamasi kronik.
Sel plasma merupakan produk akhir dari aktivasi sel B yang mengalami diferensiasi akhir; sel plasma dapat menghasilkan antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen di tempat radang atau melawan komponen jaringan yang berubah.
Eosinofil secara khusus ditemukan di tempat radang sekitar terjadinya infeksi parasit atau sebagai bagian reaksi imun yang diperantarai oleh IgE, yang berkaitan khusus dengan alergi.
Sel mast dapat berperan serta dalam respons radang akut maupun kronik. Sel mast yang diperantarai IgE merupakan pemain utama pada Syok Anafilaktik.
Walaupun neutrofil merupakan tanda klasik pada inflamasi akut, tetapi banyak bentuk radang kronik dapat terus memperlihatkan infiltrat neutrofil yang luas, akibat mikroba yang menetap atau karena mediator yang dielaborasi oleh makrofag atau sel nekrotik. Hal ini kadang kala disebut Inflamasi Kronik Akut.

Inflamasi Granulomatosa

Inflamasi granulomatosa merupakan suatu pola inflamasi kronik khusus, yang ditandai dengan agregasi makrofag teraktivasi yang gambarannya menyerupai sel skuamosa (epiteloid).
Granuloma dapat terbentuk pada keadaan respons sel T yang persisten terhadap mikroba tertentu (seperti Mycobacterium tuberculosis, Treponema pallidum yang menyebabkan Gumma Sifilitika, atau jamur).
TBC merupakan penyakit berpola dasar granulomatosa karena infeksi dan seharusnya selalu disingkirkan sebagai penyebab pada saat granuloma terindentifikasi. Granuloma juga dapat berespons terhadap benda asing yang relatif inert (misalnya benang, serpihan, emplan payudara), membentuk sesuatu yang disebut juga Granuloma Benda Asing.
Pembentukan granuloma merupakan benteng yang efektif terhadap agen penyerang sehingga sehingga granuloma merupakan mekanisme pertahanan yang bermanfaat.

Saluran & Kelenjar Getah Bening pada Inflamasi

Saluran dan kelenjar getah bening menyaring dan mengatur cairan ekstravaskular. Bersama dengan Sistem Fagosit Mononuklear, sistem ini merupakan lini pertahanan sekunder yang berperan pada saat reaksi radang lokal gagal mengatasi dan menetralkan cedera.
Saluran limfatik merupakan saluran sangat halus. Saluran limfatik tersusun oleh endotel yang berkesinambungan, dengan cell junction yang tumpang tindih dan longgar, membran basalis yang tipis, dan tanpa penopang otot, kecuali pada saluran yang lebih besar.
Oleh karena penghubung saluran limfe longgar, cairan limfe akhirnya menyeimbangkan dengan cairan ekstravaskular. Akibatnya, selama peradangan, aliran saluran limfe meningkat dan membantu mengalirkan cairan edema dari ruang ekstravaskular.
Selain cairan, leukosit dan debris sel juga bisa menemukan jalan masuk ke dalam limfe. Bahkan pada keadaan inflamasi luas, aliran limfe juga dapat mengangkut agen penyerang (mikroba atau kimiawi). Akibatnya, saluran limfe itu sendiri dapat mengalami peradangan sekunder (Limfangitis).
Pembesaran kelenjar tersebut biasanya disebabkan oleh proliferasi limfosit dan makrofag pada Folikel dan Sinus Limfoid, serta hipertrofi sel fagositik. Kumpulan perubahan histologi ini dinamakan Limfadenitis Reaktif atau Limfadenitis Meradang.

Inflamasi Akut

Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relatif singkat, dan ditandai dengan eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi Leukosit Neutrofilik yang menonjol.
Karena dirancang untuk pengiriman leukosit ke tempat jejas, sesampainya leukosit tersebut pada lokasi jejas, leukosit akan membersihkan setiap mikroba yang menginvasi dan memulai proses penguraian jaringan nekrotik. Proses ini memiliki 2 komponen utama, yaitu:
  1. Perubahan Vaskular
Perubahan dalam kaliber pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan aliran darah (vasodilatasi) dan perubahan struktural yang memungkinkan protein plasma untuk meninggalkan sirkulasi (peningkatan permeabilitas vaskular)
  1. Rekrutmen Sel
Berbagai kejadian yang terjadi pada sel; Emigrasi Leukosit dari mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas.
Perubahan vaskular dan rekrutmen sel menentukan 3 dari 5 tanda lokal klasik inflamasi akut: Panas (Kalor), Merah (Rubor), dan Pembengkakan (Tumor). 2 gambaran kardinal tambahan pada inflamasi akut, yaitu Nyeri (Dolor) dan Hilangnya Fungsi (Functio Laesa), terjadi akibat perluasan media dan kerusakan yang diperantai leukosit.

Perubahan Vaskular

Tahapan-tahapan perubahan vaskular adalah sebagai berikut:
Ó Setelah vasokonstriksi sementara, terjadi vasodilatasi arteriol, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah dan penyumbatan lokal (Hiperemia) pada aliran darah kapiler selanjutnya. Pelebaran pembuluh darah ini merupakan penyebab timbulnya  warna merah (Eritema) dan hangat yang secara khas terlihat pada inflamasi akut.
Ó Selanjutnya, mikrovaskulatur menjadi lebih permeabel, mengakibatkan masuknya cairan kaya protein ke dalam jaringan ekstravaskular. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi lebih terkonsentrasi dengan baik sehingga meningkatkan viskositas darah dan memperlambat sirkulasi. Secara mikroskopik perubahan ini digambarkan oleh dilatasi pada sejumlah pembuluh darah kecil yang dipadati oleh eritrosit. Proses tersebut dinamakan Stasis.
Ó Saat terjadi stasis, leukosit (terutama neutrofil) mulai keluar dari aliran darah dan berakumulasi di sepanjang permukaan endotel pembuluh darah. Proses ini disebut dengan Marginasi. Setelah melekat pada sel endotel, leukosit menyelip di antara sel endotel tersebut dan bermigrasi melewati dinding pembuluh darah menuju jaringan interstisial. 
Peningkatan Permeabilitas Vaskular

Vasodilatasi arteriol dan aliran darah yang bertambah meningkatkan tekanan hidrostatik intravaskular dan pergerakan cairan Transudat (ultrafiltrat plasma darah  dan mengandung sedikit protein) dari kapiler. Namun demikian transudasi segera menghilang dengan meningkatnya permeabilitas vaskular yang memungkinkan pergerakan cairan kaya protein, bahkan sel ke dalam Interstisium (disebut Eksudat). Hilangnya  cairan kaya protein ke dalam ruang perivaskular menurunkan tekanan osmotik intravaskular dan meningkatkan tekanan osmotik cairan interstisial. Hasilnya adalah mengalirnya air dan ion ke dalam jaringan ekstravaskular; akumulasi cairan ini dinamakan Edema.

Inflamasi akut menyebabkan kebocoran selapis endotel melalui sejumlah cara, yaitu:
-. Kontraksi sel endotel menimbulkan intercellular gap pada venula, merupakan suatu proses reversibel yang dihasilkan oleh Histamin, Bradikinin, Leukotrien, dan banyak kelompok mediator kimiawi lainnya.
Hal ini disebut Respons Segera Sementara (Immediate Transient Response). Hanya sel endotel yang melapisi venula pascakapiler kecil yang mengalami kontraksi; endotel kapiler dan arteriol tidak mengalami hal tersebut, barangkali akibat jumlah reseptor untuk mediator kimiawi yang sesuai lebih sedikit.
Retraksi sel endotel merupakan mekanisme reversibel lain yang menimbulkan peningkatan permeabilitas veaskular. Mediator Sitokin (yaitu Tumor Necrosis Factor [TNF] dan Interleukin 1 [IL-1] menyebabkan reorganisasi struktural pada sitoskeleton endotel sehingga sel yang mengalami retraksi satu sama lain dan cell-junction menjadi terganggu, berlawanan dengan respons segera sementara.
-. Jejas endotel langsung akan mengakibatkan kebocoran vaskular dengan menyebabkan nekrosis dan lepasnya sel endotel. Efek ini biasanya terlihat setelah cedera berat (misalnya, luka bakar atau infeksi), dan lepasnya sel endotel sering kali disertai dengan adhesi trombosit dan trombosis.
Reaksi ini dikenal dengan Immediate Sustained Response. Venula, kapiler, dan arteriol semuanya dapat mengalami hal ini, bergantung pada tempat jejas.
-.  Jejas endotel yang bergantung leukosit dapat terjadi akibat akumulasi leukosit selama respons inflamasi terjadi. Bentuk cedera ini sebagian besar terjadi secara terbatas di tempat-tempat pembuluh darah yang leukositnya dapat melekat pada endotel.
-. Peningkatan Transitosis melalui jalur vesikular intrasel meningkatkan permeabilitas venula, khususnya setelah pejanan terhadap mediator tertentu (misalnya Vascular Endothelial Growth Factor [VEGF]). Transitosis terjadi dengan melintasi kanal-kanal yang dibentuk oleh fusi vesikel yang tanpa selubung.
-. Kebocoran dari pembuluh darah baru. Pada perbaikan jaringan terjadi pembentukan pembuluh darah baru (Angiogenesis). Bakal pembuluh darah masih bocor sampai sel endotel yang mengalami proliferasi berdiferensiasi secara memadai untuk membentuk intercellular juction.
Walaupun mekanisme di atas dapat dipisahkan, semuanya dapat berperan serta pada keadaan adanya rangsangan khusus.

Berbagai Peristiwa yang Terjadi pada sel

            Urutan kejadian ekstravasasi leukosit dari lumen pembuluh darah ke ruang ekstravaskular dibagi menjadi:
  1. Marginasi dan Rolling
Saat darah mengalir dari kapiler menuju venula pascakapiler, sel dalam sirkulasi dibersihkan oleh aliran laminar melawan dinding pembuluh darah. Leukosit terdorong dari sumbu ventral pembuluh darah, tempat leukosit biasanya mengalir, sehingga leukosit mempunyai kesempatan lebih baikuntuk berinteraksi dengan sel endotel yang melapisinya.
Proses akumulasi di tepi pembuluh darah ini disebut Marginasi. Selanjutnya, leukosit yang berguling-guling pada permukaan endotel, untuk sementara melekat di sepanjang perjalanannya itu. Proses ini dinamakan Rolling.
Adhesi sementara dan relatif longgar yang terlibat dalam proses rolling, dilakukan oleh kelompok molekul Selektin. Selektin merupakan reseptor yang dikeluarkan pada leukosit dan endotel dan ditandai dengan adanya daerah ekstrasel yang mengikat gula tertentu.
  1. Adhesi dan Transmigrasi
Leukosit akhirnya melekat kuat pada permukaan endotel (Adhesi) sebelum merayap di antara sel endotel dan melewati membran basalis masuk ke ruang ekstravaskular (Diapedesis). Adhesi kuat ini diperantarai oleh molekul Superfamili Imunoglobin pada sel endotel yanng berinteraksi dengan Integrin yang muncul pada permukaan sel leukosit.
Setelah adhesi kuat terjadi pada permukaan endotel, leukosit bertransmigrasi terutama dengan merembes di antara sel pada intercellular junction. Suatu molekul adhesi sel-ke-sel superfamili imunoglobin, merupakan protein yang dominan dalam memrantarai proses ini. Setelah melintasi endothelial junction, leukosit menembus membran basalis dnegan mendegradasinya secara fokal menggunakan kolagenase yang disekresi.
Sebagai ringkasan, berbagai peristiwa dalam rekrutmen leukosit pada suatu tempat radang, yaitu (1) Aktivasi Endotel, meningkatkan pengeluaran selektin dan ligan selektin; (2) Rolling Leukosit, difasilitasi oleh ikatan selektin pada ligan karbohidrat yang relatif longgar; (3) Adhesi Kuat, difasilitasi oleh perubahan afinitas integrin terhadap ligan endotel yang diinduksi Kemokin; dan (4) Transmigrasi antarsel endotel dengan memanfaatkan interaksi Platelet Endothelial Cell Adhesion Molecule 1 (PECAM-1).
Neutrofil, monosit, eosinofil, dan berbagai jenis limfosit menggunakan molekul yang berbeda, namun saling tumpang tindih, untuk rolling dan adhesi. Jenis leukosit yang direkrut tergantung pada sifat rangsang yang menyerang dan usia tempat peradangan.
  1. Kemotaksis dan Aktivasi
Setelah terjadi ekstravasasi dari darah, leukosit bermigrasi menuju tempat jejas mendekati gradien kimiawi pada suatu proses yang disebut Kemotaksis. Kedua zat eksogen dan endogen dapat bersifat kemotaktik terhadap leukosit. Molekul kemotaksis berikatan pada reseptor permukaan sel spesifik sehingga menyebabkan aktivasi Fosfolipase-C yang diperatarai Protein G; fosfolipase C menghidrolisis Fosfatidilinositol Bifosfat (PIP2) membran plasma menjadi Diasilgliserol (DAG) dan Inositol Trifosfat (IP3). Kemudian, DAG menyebabkan sejumlah kejadian sekunder, sedangkan IP3 meningkatkan kalsium intrasel, dengan pengeluaran dari retikulum endoplasma dan dengan influks ekstrasel. Meningkatnya kalsium sitosol memicu perakitan elemen kontraktil sitoskeletal yang diperlukan untuk pergerakan. Leukosit bergerak dengan memperpanjang Pseudupodia yang berlabuh ke matriks ekstraselular dan kemudian menarik sel ke arah perpanjangan tersebut.
Selain merangsang pergerakan, faktor kemotaksis juga menginduksi respons leukosit lainnya, yang umumnya disebut sebagai Aktivasi Leukosit:
-. Degranulasi dan sekresi enzim lisosom, dan terjadi pembakaran oksidatif melalui aktivasi Protein Kinase C yang diinduksi oleh DAG
-. Produksi metabolit AA melalui aktivasi FosfolipaseA2 yang diinduksi oleh kalsium dan DAG
-. Modulasi molekul adhesi leukosit melalui peningkatan kalsium intrasel, termasuk peningkatan (atau penurunan) jumlah dan peningkatan (atau penurunan) afinitas
  1. Fagositosis dan Degranulasi
Fagositosis dan elaborasi enzim degradatif merupakan 2 manfaat utama dari adanya leukosit yang direkrut pada tempat inflamasi. Fagositosis terdiri atas 3 langkah berbeda, tetapi saling terkait: (1) Pengenalan dan Perlekatan partikel pada leukosit yang menelan; (2) Penelanan, dengan pembentukan vakuola fagositik selanjutnya; dan (3)  Pembunuhan dan degradasi material yang ditelan.
Pengenalan dan perlekatan leukosit pada sebagian besar mikroorganisme difasilitasi oleh Protein Serum yang secara umum disebut Opsonin, dengan opsonin yang terpenting adalah molekul Imonoglobin G (IgG).
Pengikatan partikel teropsonisasi memicu penelanan (engulfment). Pada penelanan, pseudopodia diperpanjang mengelilingi objek, sampai akhirnya membentuk vakuola fagositik. Membran vakuola kemudian berfusi dengan membran granula lisosom, sehingga terjadi pengeluaran kandungan granula masuk ke dalam Fagolisosom dan terjadi degranulasi leukosit.
Langkah terakhir dalam fagositosis mikroba adalah pembunuhan dan degradasi. Pembunuhan mikroba dilakukan sebagian besar oleh spesies oksigen reaktif. Fagositosis merangsang suatu Pembakaran Oksidatif yang ditandai dengan peningkatan konsumsioksigen yang tiba-tiba, katabolisme glikogen (glikogenolisis), peningkatan oksidasi glukosa, dan produksi metabolit oksigen reaktif. Pembentukan metabolit oksigen terjadi karena aktivasi cepat suatu NADPH Oksidase Leukosit, yang mengoksidasi NADPH (Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Terekduksi) dan, selama prosesnya, mengubah oksigen menjadi Ion Superoksida (O2-).
Superoksida kemudian diubah melalui dismutasi spontan menjadi Hidrogen Peroksida (H2O2). Jumlah hidrogen peroksida yang dihasilkan pada umumnya tidak cukup untuk membunuh dengan efektif sebagian besar bakteri, walaupun pembentukan superoksida dan radikal hidroksil dapat cukup jumlahnya untuk melakukan hal tersebut). Namun demikian, lisosom neutrofil (dinamakan Granula Azurofilik) mengandung enzim Mioloperoksidase (MPO), dan dengan adanya halida seperti Cl-. MPO mengubah H2O2 menjadi HOCl-  (radikal hipoklorat), merupakan oksidan dan anti mikroba yang sangat kuat yang membunuh bakteri melalui halogenasi, atau dengan peroksidasi protein dan lipid.
Setelah pembakaran oksigen, akhirnya H2O2 terurai menjadi air dan O2 oleh kerja katalase dan spesies oksigen reaktif lainnya juga didegradasi. Mikroorganisme yang mati kemudian didegradasi oleh kerja hidrolase asam lisosom.
Penting untuk diperhatikan bahwa bahkan saat tidak terjadi pembakaran oksigen, unsur granula leukosit lainnya mempu membunuh bakteri dan agen infeksius lainnya. Unsur tersebut, yaitu protein yang meningkatkan permeabilitas bakterisidal (menyebabkan aktivasi fosfolipase dan degradasi fosfolipid membran), Lisozim (menyebabkan degradasi oligosakarida selubung bakteri), protein dasar utama (unsur granula eosinofil yang penting dengan sitotoksisitas yang kuat terhadap parasit), dan Defensin (peptida yang membunuhmikroba dengan membentuk lubang di dalam membrannya).

Defek Pada Fungsi Leukosit

-. Defek  Adhesi. Pada defisiensi adhesi leukosit tipe 1 menimbulkan gangguan adhesi, penyebaran, fagositosis, dan pembakaran oksidatif. Defisiensi adhesi leukosit 2 disebabkan oleh defek menyeluruh pada metabolisme Fukosa yang mengakibatkan hilangnya Sialil-Lewis X, epitop oligisakarida pada leukosit yang berikatan dengan selektin pada endotel yang teraktivasi.
-. Defek Aktivitas Mikrobasidial. Contohnya adalah penyakit Granulomatosa Kronik, suatu defisiensi genetik pada salah satu dari beberapa komponen NADPH oksidase yang bertanggung jawab dalam pembentukan superoksida. Pada pasien ini, pemangsaan bakteri tidak menyebabkan aktivasi mekanisme pembunuhan yang bergantung oksigen, walaupun pada kenyataannya aktivitas MPO sel adalah normal.
-. Defek Pembentukan Fagolisosom. Salah satu kelainannya adalah sindrom Chӗdiak- Higashi, suatu penyakit resesif autosom akibat terganggunya organelle trafficking intrasel, yang terutama menganggu degranulasi lisosom menjadi fagosom. Sekresi granula sekretoris litik oleh Sel T Sitotoksin juga terpengaruh, yang menjelaskan adanya imunodefisiensi berat pada kelainan ini.

Mediator Kimiawi Inflamasi

Prinsip-prinsip umum mengenai beberapa molekul mediator kimiawi penting:
  1. Mediator dapat bersirkulasi di dalam plasma (khususnya yang disintesis oleh hati), atau dapat dihasilkan secara lokal oleh sel di tempat terjadinya inflamasi.
  2. Sebagian besar mediator menginduksi efeknya dengan berikatan pada reseptor spesifik pada sel target. Namun demikian, beberapa mediator memiliki aktivitas enzimatik langsung dan/atau aktivitas toksik (misalnya, protease lisosom atau spesies oksigen reaktif.
  3. Mediator dapat merangsang sel target untuk melepaskan molekul efektor sekunder. Mediator sekunder ini dapat mempunyai bahan dengan molekul efektor inisial, atau dapat juga berbeda sehingga bekerja untuk melakukan kontraregulasi terhadap rangsang inisial.
  4. Mediator hanya dapat bekerja pada satu atau sangat sedikit target, atau dapat mempunyaiaktivotas luas; bisa terdapat perbedaan hasil yang sangat besar bergantung pada jenis sel yang dipengaruhi.
  5. Fungsi mediator umumnya diatur secara ketat, karena sebagian besar mediator memiliki potensi untuk menyebabkan efek yang berbahaya.

Amina Vasoaktif
Berupa Histamin. Sebelum terbentuk, histamin tersimpan di dalam granula Sel Mast dan dilepaskan sebagai respons terhadap berbagai rangsangan: (1) Cedera Fisik; (2) Reaksi Imun yang menyebabkan pengikatan antibodi IgE terhadap reseptor Fc pada sel mast; (3) Fragmen C3a dan C5a Komplemen, juga disebut Anafilatoksin; (4) Protein Pelepas Histamin yang berasal dari leukosit; (5) Neuropeptida (misalnya, substansi P); dan (6) Sitokin Tertentu (misalnya IL-1 dan IL-8)
Histamin menyebabkan dilatasi arteriol dan merupakan mediator utama pada peningkatan permebilitas vaskular fase cepat, yangmenginduksi kontraksi endotel venula dan interendothelial gap. Segera setelah dilepaskan, histamin diinaktivasi oleh histaminase.
Serotonin (5-Hidroksitriptamin) juga merupakan mediator vesoaktif praformasi, yang berefek sama dengan histamin. Serotonin ditemukan terutaman di dalam granula padat trombosit (bersama dengan histamin, adenosin difosfat, dan kalsium) dan dilepaskan saat terjadi agregasi trombosit.

Neuropeptida
Seperti amina vasoaktif, neuropeptida dapat menginisiasi respons radang; neuropeptida merupakan protein kecil, seperti Substansi P, yang mentransmisikan sinyal nyeri, mengatur tonus pembuluh darah, dan mengatur permeabilitas vaskular.

Protease Plasma
Banyak efek peradangan diperantarai oleh 4 faktor yang berasal dari plasma yang saling terkait; Kinin, Sistem Pembekuan, Sistem Fibrinolisis, dan Komplemen –semuanya terkait dengan aktivasi inisial Faktor Hageman.
Faktor Hageman (Faktor XII pada Kaskade Koagulasi Intrinsik) merupakan suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk inaktif sampai bertemu dengan kolagen, membran basalis, atau trombosit yang teraktivasi (seperti pada tempat terjadinya cedera endotel).
Faktor Hageman teraktivasi (Faktor XIIa) menginiasiasi keempat sistem diatas dengan rincian:
(1)   Sistem kinin, menghasilkan Kinin Vasoaktif.
(2)   Sistem Pembekuan, menginduksi aktivasi Trombin, Fibrinopeptida, dan Faktor X, semuanya dengan bahan peradangan.
(3)   Sistem Fibrinolisis, menghasilkan Plasmin dan mendegradasi trombin.
(4)   Sistem Komplemen, menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a.
Bradikinin, C3a, dan C5a merupakan mediator utama pada peningkatan permeabilitas vaskular.
C5a merupakan mediator utama kemotaksis.
Trombin memiliki efek yang bermakna pada banyak sel dan jalurnya (adhesi leukosit, permeabilitas vaskular, dan kemotaksis).
Banyak produk yang dihasilkan oleh jalur ini (misal, Kalikrein dan Plasmin) dapat memperkuat sistem melalui aktivasi umpan balik faktor Hageman.

Metabolit Asam Arakhidonat: Prostaglandin, Leukotrien, dan Lipoksin
Merupakan produk yang dihasilkan oleh Metabolisme AA (Eikosanoid).
AA merupakan suatu asam lemak tak jenuh ganda (Polyunsaturated Fatty Acid) dengan 20 atom karbon (4 rantai ganda) yang terutama berasal dari Asam Linoleat makanan dan terdapat di dalam tubuh, terutama dalam bentuk ester sebagai suatu komponen fosfolipid membran sel. AA dilepaskan dari fosfolipid ini melalui fosfolipase sel yang telah diaktifkan oleh rangsang mekanik, kimiawi, atau fisik, atau oleh mediator eradangan seperti C5a. Proses metabolisme AA terjadi melalui satu atau dua jalur utama:
-. Sikooksigenase, yang menyintesis Prostaglandin dan Tromboksan; dan
-. Lipoksigenase, yang menyintesis Leukotrien dan Lipoksin
Aspirin dan sebagian besar obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS), misalnya Ibuprofen, menghambat semua aktivitas siklooksigenase di atasnya sehingga menghambat semua sintesis prostaglandin, sehingga efektif dalam mengobati nyeri dan demam.

Faktor Pengangtivasi Trombosit ( PAF, Platelet-Activating Factor)
Memiliki kemampuan mengangregasi trombosit dan menyebabkan degranulasi. PAF merupakan mediator lain yang berasal dari fosfolipid dengan efek radang berspektrum luas. Secara formal, PAF merupakan Asetil Gliserol Eter Fosfokolin, yang dibentuk dan fosfolipid membran neutrofil, monosit, basofil, endotel, dan trombosit (dan sel lainnya) oleh kerja Fosfolipase A2.

Sitokin
Merupakan produk polipeptida dari banyak jenis sel, tetapi pada dasarnya merupakan limfosit dan makrofag yang teraktivasi, yang melakukan fungsi jenis sel lainnya, termasuk (1) Faktor Perangsang Koloni, yang mengatur pertumbuhan sel prekursor sumsum imatur; (2) banyak Faktor Pertumbuhan Klasik, Interleukin. Sekresinya dirangsang oleh endotoksin, kompleks imun, toksin, cedera fisik, atau berbagai mediator peradangan; dan (3) Kemokin, suatu protein kecil yang merangsang terjadinya adhesi leukosit serta pergerakan terarah (Kemotaksis).
Sitokin dihasilkan selama terjadi respons radang dan imun; sekresinya bersifat sementara dan diatur secara ketat.

Nitrit Oksida (NO) & Radikal Bebas dari Oksigen
NO adalah gas radikal bebas yang mudah larut dan berumur pendek yang dihasilkan oleh berbagai sel dan mampu memerantarai beberapa fungsi efektor yang membingungkan.
Makrofag menggunakannya sebagai metabolit sitotoksik untuk membunuh mikroba dan sel tumor.
NO banyak berperan dalam inflamasi, yaitu:
-. Relaksasi otot polos pembuluh darah (Vasodilatasi)
-. Antagonisme semua tahap aktivasi trombosit (adhesi, agregasi, dan degranulasi)
-. Penurunan rekrutmen leukosit pada tempat radang
-. Berperan sebagai agen mikrobisidal (dengan atau tanpa radikal superoksida) pada makrofag taraktivasi.
Radikal bebas yang berasal dari oksigen disintesis melalui jalur NADPH oksidase dan dilepaskan dari neutrofil dan makrofag setelah perangsangan oleh agen kemotaktik, kompleks imun, atau agen fagositik.
Pada kadar rendah, spesies oksigen reaktif ini dapat meningkatkan pengeluaran kemokin, sitokin, dan molekul adhesi.
Pada tingkat yang lebih tinggi, molekul berumur pendek ini terlibat dalam berbagai mekanisme cedera jaringan, yang meliputi:
-. Kerusakan endotel, disertai trombosis dan peningkatan permeabilitas
-. Aktivasi protease dan inaktivasi antiprotease, disertai peningkatan bersih pemecahan matriks ekstraselular
-. Jejas langsung pada jenis sel lainnya (misalnya, sel tumor, eritrosit, sel parenkim).

Unsur Pokok Lisosom
Granula lisosom neutrofil dan monosit mengandung banyak molekul yang dapat memerantarai inflamasi akut.

Efek Inflamasi Dan Mediator Utamanya

  1. Vasodilatasi : Prostaglandin dan NO
  2. Peningkatan Permeabilitas Vaskular : Amin Vasoaktif (Histamin & Serotonin), C3a & C5a (dengan menginduksi pelepasan amin vasoaktif), Bradikinin, Leukotrien C4, D4, E4, dan PAF
  3. Kemotaksis, Aktivasi Leukosit : C5a, Leukotrien B4, Produk Bakteri, dan Kemokin (misalnya IL-8)
  4. Demam : IL-1, IL-6, Faktor Nekrosis Tumor, dan Prostaglandin
  5. Nyeri : Prostaglandin dan Bradikinin
  6. Kerusakan Jaringan : Enzim Lisosom Neutrofil dan Makrofag, Metabolit Oksigen, dan NO

Akibat Inflamasi Akut

Pada umumnya inflamasi akut memiliki 3 akibat:
(1)   Resolusi
Jika cedera bersifat terbatas atau berlangsung singkat, tidak terdapat kerusakan jaringan ataupun terdapat kerusakan kecil, dan jika jaringan mampu mengganti setiap sel yang cedera secara ireversibel.
(2)   Pembentukan Jaringan Parut (Scarring) atau Fibrosis
Terjadi setelah destruksi jaringan yang substansial atau ketika inflamasi pada jaringan yang tidak beregenerasi.

(3)   Kemajuan ke arah Inflamasi Kronik

Gambaran Umum Inflamasi

Stimulus eksogen dan endogen yang sama yang menyebabkan jejas sel juga menimbulkan reaksi yang kompleks pada jaringan ikat yang memiliki Vaskularisasi yang dinamakan Inflamasi (Peradangan). Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah Suatu Respons Protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal.

            Inflamasi juga saling terkait erat dengan Proses Perbaikan, yang mengganti jaringan yang rusak dengan regenerasi sel parenkim, dan/atau dengan pengisian setiap defek yang tersisa dengan Jaringan Parut Fibrosa.

            Walaupun inflamasi membantu membersihkan infeksi dan, bersama-sama dengan proses perbaikan memungkinkan terjadinya penyembuhan luka, baik inflamasi maupun proses perbaikan sengat potensial menimbulkan bahaya.

            Respons radang memiliki banyak pemain, , yaitu:
-. Sel dan Protein Plasma dalam sirkulasi
   Sel dalam sirkulasi adalah Leukosit Polimorfonuklear yang berasal dari sumsum tulang (Neutrofil), Eosinofil, dan Basofil; Limfosit dan Monosit; serta Trombosit.
Protein dalam sirkulasi meliputi Faktor Pembekuan, Kininogen, dan Komponen Komplemen, sebagian besar disintesis di Hati.
-. Sel Dinding dan Pembuluh Darah
   Sel dinding pembuluh darah meliputi Sel Endotel yang berkontak langsung dengan darah, dan Sel Otot Polos yang mendasarinya yang memberikan tonus pada pembuluh darah.
-. Sel serta Matriks Ekstraselular Jaringan Ikat di sekitarnya
   Sel jaringan ikat meliputi Sentinel untuk menginvasi, misalnya Sel Mast, Makrofag, dan Limfosit, serta Fibroblas yang menyintesis matriks ekstrasel dan dapat berproliferasi untuk mengisi luka. Matriks ekstraselular terdiri atas protein penyusun fibrosa (misalnya, Kolagen dan Elastin), Proteoglikan yang membentuk gel, dan Glikoprotein Adhesif (misalnya, Fibronektin)

            Pada saat respons radang meliputi suatu perangkat meliputi suatu perangkat kompleks berbagai kejadian yang sangat harmonis, garis besar suatu inflamasi adalah sebagai berikut:
Stimulus awal radang memicu pelepasan mediator kimiawi dari plasma atau dari sel jaringan ikat. Mediator terlarut itu, bekerja bersama atau secara berurutan, memperkuat respons awal radang dan mempengaruhi perubahannya dengan mengatur respons vaskular dan selular berikutnya. Respons radang diakhiri ketika stimulus yang membahayakan menghilang dan mediator radang telah hilang , dikatabolisme, atau diinhibisi.

Pola Dasar Kematian Sel

Nekrosis


Nekrosis menunjukkan sekuens perubahan morfologik yang mengikuti kematian sel pada jaringan hidup. Nekrosis merupakan korelasi makroskopik dan histologik pada kematian sel yang terjadi di lingkungan cedera eksogen ireversibel.

Gambaran morfologik nekrosis merupakan hasil 2 proses penting yang terjadi bersamaan, yaitu:
1. Digesti enzimatik sel; dan
2.  Denaturasi protein

Macam-macam nekrosis:
      
-. Nekrosis Koagulatif
      Merupakan denaturasi primer dengan terjaganya arsitektur umum jaringan, khas untuk kematian hipoksik sel dalam semua jaringan.

-. Nekrosis Liquefaktif
Khas untuk infeksi bakterial fokal atau kadang fungal, karena memberikan rangsang yang sangat kuat untuk akumulasi leukosit. Pada kematian hipoksik sel dalam SSP juga menghasilkan nekrosis liquefaktif. Nekrosis ini sepenuhnya mencerna sel mati.

-. Nekrosis Kaseosa
Merupakan bentuk tersendiri nekrosis yang paling sering ditemukan pada fokus infeksi Tuberkulosis. Istilah ‘kaseosa’ sendiri berasal dari gambaran makroskopik putih, seperti keju di aerah nekrosis sentral.

-. Nekrosis Lemak
Merupakan istilah lain yang sebenarnya tidak menunjukkan pola spesifik nekrosis. Agaknya, menjelaskan area fokal destruksi lemak, yang secara khas terjadi setelah Cedera Pankreatik; nekrosis tersebut disebabkan oleh pelepasan patologi enzim pankreatik yang teraktivasi ke dalam Parenkim yang berdekatan atau Cavum Peritoneii. Nekrosis lemak terjadi pada kegawatdaruratan abdomen yang membahayakan dan dikenal sebagai Pankreatitis Akut.

Pada pasien yang masih hidup, sebagian besar sel nekrotik dan debrisnya menghilang dengan kombinasi proses digesti enzim ekstraselular dan fagositosis oleh leukosit. Jika tidak scepatnya dieliminasi, sel nekrotik dan debris selular cenderung mengalami Kalsifikasi Distrofik.

Apoptosis


Apoptosis adalah jalur ‘bunuh diri’ sel bukan ‘pembunuhan’ sel yang terjadi pada kematian sel nekrotik. Apoptosis menyebabkan kematian sel terprogram , pada beberapa proses fisiologik penting (dan proses patologik), meliputi:
-. Kerusakan sel terprogram selama embriogenesis, seperti yang terjadi pada implntasi, organogenesis, dan terjadinya involusi.

-. Involusi fisiologik bergantung hormon, seperti involusi endometrium selama siklus menstruasi atau payudara di masa laktasi setelah penyapihan atau atrofi patologik, seperti pada prostat setelah kastrasi.

-. Delesi sel pada populasi yang berproliferasi seperti epitel kripta usus, atau kematian sel pada tumor.

-. Delesi sel T Autoreaktif di Timus, kematian dari limfosit yang kekurangan Sitokin, atau kematian sel yang diinduksi oleh sel T Sitotoksin.

-. Berbagai rangsang cedera ringan (panas, radiasi, obat kanker sitotoksik, dan lain-lain) yang menyebabkan kerusakan DNA yang tidak dapat diperbaiki, sebaliknya memicu jalur lintas bunuh diri sel.
Tertu saja, kegagalan sel untuk mengalami apoptosis fisiologik dapat menyebabkan perkembangan aberan, proliferasi tumor yang tidak terkontrol, atau penyakit autoimun.

Mekanisme Apoptosis

Mekanisme apoptosis merupakan 4 mekanisme yang terpisah, tetapi tetap saling tumpang tindih.
  1. Signaling, apoptosis dapat dipicu dengan berbagai sinyal yang berkisar dari kejadian terprogram intrinsik (misalnya, pada perkembangan), kekurangan faktor tumbuh, interaksi ligan-reseptor spesifik, pelepasan granzim dari sel T sitotoksik, atau agen jejas tertentu (misalnya, radiasi).
  2. Kontrol dan Integrasi, yang dilengkapi oleh protein spesifik yang menghubungkan sinyal kematian asli dengan program eksekusi akhir. Terdapat dua jalur luas pada tahapan ini: (1) Transmisi langsung sinyal kematian dengan Protein Pencocok terhadap mekanisme eksekusi; dan (2) Pengaturan Permeabilitas Mitokondrial.
  3. Eksekusi, merupakan jalur akhir apoptosis yang ditandai dengan konstelasi kejadian biokimiawi khas yang dihasilkan dari sintesis dan/atau aktivasi sejumlah enzim katabolik sitosolik. Jalur ini memuncak dengan perubahan morfologik yang telah disebutkan sebelumnya. Eksekusi final jalur lintas ini memperlihatkan pola-pola pokok yang umumnya bisa diaplikasikan pada semua bentuk apoptosis:
-. Pemecahan Protein oleh satu golongan Protease yang baru dikenal, dinamakan Caspase
-. Ikatan Silang Protein yang Luas melalui Aktivasi Transglutaminase mengubah protein sitoplasmk mudah larut dan terutama protein sitoskeletal menjadi sleubung memadat berikatan secara kovalen yang dapat berfragmentasi menjadi badan-badan apoptotik.
-. Pemecahan DNA

  1. Pengangkatan Sel Mati, sel apoptotik dan fragmennya memiliki molekul penanda pada permukaannya, yang mempermudah pengambilan dan pembuangan oleh sel yang berdekatan atau Fagosit. Keadaan tersebut terjadi dengan membalikkan Fosfatidilserin dari permukaan sitoplasmik interna dari sel apoptotik ke permukaan ekstrasel. Proses ini sangat efisien sehingga sel mati menghilang tanpa meninggalkan bekas, dan inflamasi benar-benar tidak ada.

Penuaan sel


            Perubahan morfologik pada sel yang menua meliputi Ketidakteraturan Inti, Mitokondria Bervakuola Pleomorfik, Pengurangan Retikulum Endoplasma, dan Penyimpangan Aparatus Golgi. Secara bersamaan, terdapat Akumulasi Tetap Pigmen Lipofuscin, Protein Terlipat Abnormal, dan Produk Akhir Glikolisis Lanjut yang mampu berikatan silang dengan protein yang berdekatan.

            Teori penuaan sel intristik berpegang bahwa proses penuaan sel terjadi karena pemprograman genetik yang telah ditetapkan, yang menyebabkan sel memiliki limit dalam pembelahannya. Bagaimana sel mengenal junlah pembelahan yang telah dialami. Dua mekanisme yang diusulkan adalah:
  1. Replikasi inkomplet ujung-ujung kromosom (pemendekan telomer). Oleh karena mekanisme replikasi DNA, setiap pembelahan sel normal menghasilkan kopi tiap kromosom dengan agak sedikit terpotong.
Namun demikian, pada Sel Germ dan Sel Stem (tetapi biasanya bukan di sel somatik), yang memerlukan siklus replikasi yang tidak menentu, panjang telomer diperbaiki setelah pembelahan tiap sel oleh enzim khusus yang disebut Telomerase. Hal yang menarik adalah telomerase juga diaktivasi pada sel kanker imortal, mengesankan bahwa pengawetan panjang telomer kemungkinan merupakan langkah kritis dalam tumorigenesis.

  1. Jam Gen. Gen memiliki sistem kontrol waktu pertumbuhan terhadap tubuh.
Sebagai tambahan untuk jam genetik intrinsik, teori terkini berpegang bahwa rentang masa hidup sel juga diatur oleh keseimbangan cedera yang sedang berlangsung dan kemampuan sel untuk memperbaiki kerusakan.
Konsisten dengan teori penuaan adalah hasil pengamatan sebagai berikut :
-. Panjang umur di antara spesies berbeda berbanding terbalik dengan kecepatan pembentukan Radikal Superoksid Mitokondria.
-. Ekspresi berlebih Enzim Dismutase Superoksid Antioksidatif dan Katalase memperlama masa hidup pada penelitian model penuaan.
-. Pembatasan asupan kalori menurunkan derajat status (kondisi) mantap terhadap kerusakan oksidatif, memperlambat perubahan yang berhubungan dengan usia, dan memperlama masa hidup maksimal mamalia.

            Sebagai ringkasan, mekanisme penuaan sel melibatkan kejadian terprogram, dan konsekuensinya cedera lingkungan yang progresif. Penuaan terprogram, menanggung urutan kejadian yang ditetapkan sebelumnya, termasuk represi dan depresi program genetik spesifik, yang akhirnya berakibat pada proses penuaan.

Respons Subselular terhadap Jejas

Respon terhadap kondisi tertentu disertai dengan perubahan yang agak berbeda yang hanya melibatkan organela subselular dan protein sitosolik.

            Katabolisme Lisosomal
           
Lisosom Primer adalah organela intrasel yang dilapisi membran yang mengandung beragam enzim hidrolitik. Lisoson berfusi dengan vakuola yang berisi material yang berfungsi sebagai pencerna pembentu Lisosom Sekunder, atau Fagolisosom. Lisosom terlibat dalam pemecahan material yang dicerna melalui satu dari 2 cara, yaitu:

-. Heterofagi
   Material dari lingkungan eksterna diambil melalui suatu proses yang secara umum disebut Endositosis; pengambilan material yang berukuran lebih besar disebut Fagositosis; dan pengambilan makromulekul yang dapat larut yang lebih kecil dinamakan Pinositosis. Vakuola yang mengalami endositosis dan isinya, akhirnya berdifusi dengan lisosom, menyebabkan degenerasi material yang dapat ditelan.
Heterofagi merupakan hal yang paling mencolok dalam fagosit ‘profesional’; bakteri dicerna dan didegradasi oleh Neutrofil, dan Makorfag manelan dan mangatabolisme sel nekrotik.

-. Autofagi
   Pada proses ini, organela intraselular dan sebagian sitosol terasing dari sitoplasma dalam Vakuola Autofagik yang terbentuk dari regio bebas ribosom RER. Kemudian, berdifusi dengan lisosom primer yang sebelumnya telah ada, membentuk Autofagolisosom. Autofagi merupakan fenomena umum yang terlibat dalam penyingkiran organela rusak atau mati, dan pada perbaikan kembali sel yang disertai diferensiasi sel. Autofagi terutama terjadi pada sel yang mengalami atrofi, yang diinduksi oleh kekurangan zat nutrisi atau hormon.

Lisosom dengan debris yang tidak dicerna, bisa menetap dalam sel sebagai Badan-Badan Residual atau bisa dipaksa keluar. Granul Pigmen Lipofuscin menunjukkan material yang tidak dapat dicerna, yang dihasilkan dari peroksidasi lipid intrasel, dan pigmen tertentu yang tidak dapat dicerna, seperti partikel karbon yang diinhalasi dari atmosfer atau pigmen yang diinokulasi pada tato, dapat menetap dalam fagolisosom pada satu makrofag selama beberapa dekade.

Lisosom juga merupakan gudang penimbunan material sel terasing yang tidak dapat dimetabolisme dengan sempurna. Gangguan Penyimpanan Lisosom herediter, disebabkan oleh defisiensi enzim yang mendegradasi berbagai makromolekul, menyebabkan penimbunan metabolit intermedia abnormal dalam lisosom sel di seluruh tubuh; neuron paling rentan terhadap cedera letal akibat akumulasi seperti ini.

Induksi (Hipertrofi) Retikulum Endoplasma Halus

Pemakaian Barbiturat yang terus menerus menimbulkan peningkatan toleransi sehingga dosis berulang menimbulkan pemendekan durasi tidur secara progresif. Oleh karena itu, pasien dikatakan mampu beradaptasi dengan obat tersebut.

Adaptasi tersebut disebabkan oleh induksi dengan penambahan volume (hipertrofi) SER hepatosit, yang memetabolisme obat melalui sistem oksidase fungsi campuran P-450 yang terdapat di sana. Tujuan modifikasi enzim itu adalah meningkatan daya larut berbagai senyawa, sehingga mempermudah ekskresinya.

Walaupun hal tersebut sering dijelaskan sebagai Detoksifikasi, tetapi kenyataan lebih banyak senyawa diubah oleh modifikasi P-450 yang lebih berbahaya.

Perubahan Mitokondria

Pada hioertrofi selular terdapat penembahan jumlah mitokondria dalam sel; sebaliknya, jumlah mitokondria berkurang selama atrofi sel.

Mitokondria dapat berukuran sangat besar dan berbetuk abnormal (Megamitokondria), seperti yang tampak pada hepatosit dalam keadaan berbagai difisiensi nutrisi dan penyakit hati alkoholik.

Pada penyakit metabolik otot rangka yang diturunkan tertentu, terdapat Miopati Mitokondrial, defek pada metabolisme mitokondria yang disertai peningkatan sejumlah mitokondria besar yang tidak biasa, yang mengandung kridta abnormal. 

Abnormalitas Sitoskeletal

Sitoskeletal penting untuk:
-. Transpor intraselular organel dan molekul
-. Mempertahankan arsitektur sel dasar (misalnya, polaritas sel, membedakan atas dan bawah)
-. Membawa sinyal sel-sel dan sel-matriks ekstrasel menuju nukleus
-. Kekuatan mekanis untuk keutuhan jaringan
-. Mobilitas sel
-. Fagositosis

Abnormal sitoskeleton terjadi pada berbagai kondisi patologis. Perubahan itu dapat direfleksikan dengan suatu gambaran dan gungsi sel abnormal, gerakan organel intrasel yang menyimpang, defek daya gerak sel, atau akumulasi meterial fibrilar intraselular.

Protein syok Panas

Salah satu respons biologik adaptif yang dijaga dalam hirarki filogenetik adalah produksi Protein Stres setelah rangsang yang berpotensi berbahaya.

Protein Syok Panas (HSP) berperan penting pada pemeliharaan/perawatan protein intrasel normal, termasuk proses pelipatan protein (Protein Folding), disagregasi kompleks protein, dan transpor protein menuju berbagai organel intraselular, oleh karena itu HSP disebut juga Chaperone.

HSP diinduksi setelah rangsangan berbahaya yang tak terduga berperan penting dalam pelipatan kembali polipeptida yang mengalamidenaturasi, untuk memperbaiki fungsinya sebelum menimbulkan disfungsi atau kematian sel yang serius.

Sebagai alternatif, ketika pelipatan kembali tidak berhasil, protein terdenaturasi yang tidak dapat diperoleh kembali ditandai dengan ikatan molekul HSP ubiquitin; pengikatan ubiquitin menargetkan protein tersebut untuk katabolisme sitosolik oleh Proteasom, suatu kumpulan partikel proteinase nonlisosomal.

Fakta bahwa HSP chaperone ditemukan di mana-mana dan diinduksi sangat kuat pada lingkungan stres selular subletal menunjukkan behwa HSP chaperone berperan dalam adaptasi sel terhadap jejas.

Akumulasi Intrasel

            Pada beberapa kondisi, sel dapat mengakumulasi sejumlah zat abnormal. Akumulasi tersebut dapat membahayakan atau menyebabkan berbagai tingkat cedera. Lokasi substansi tersebut mungkin di dalam sitoplasma, organel (khususnya lisosom), atau dalam nukleus.

            Terdapat 3 jalur umum yang selnya dapat menambah akumulasi intrasel abnormal.
  1. Zat normal diproduksi dengan kecepatan normal atau kecepatan yang meningkat, tetapi kecepatan metabolik tidak adekuatuntuk menyingkirkannya. Suatu contoh untuk jenis proses tersebut adalah Perlemakan Hati.
  2. Zat endogen normal atau abnormal menumpuk karena defek genetik atau didapat pada metabolisme, pengemasan, transpor, atau sekresinya. Satu contohnya adalah defek enzimatik genetik pada jalur metabolik spesifik; gangguan yang dihasilkan disebut Penyakit Simpanan. Pada kasus lain, mutasi menyebabkan defek pelipatan dan transpor, dan akhirnya akumulasi protein (misalnya, Defesiensi α1-Antitripsin).
  3. Zat eksogen abnormal disimpan dan menumpuk karena sel tidak memiliki mesin enzimatik untuk mendegradasi zat, dan juga tidak mampu mengangkutnya ke tempat lain. Akumulasi partikel Karbon atau Silika merupakan contoh jenis perubahan tersebut.

Perlemakan

Perlemakan atau Steatosis  menunjukkan setiap akumulasi abnormal Trigliserida dalam sel Parenkim, dan di setiap tempat, akumulasi lemak tampak sebagai vakuola jernih dalam sel parenkim. Walaupun perlemakan merupakan indikator jejas yang Reversibel, kadang-kadang perlemakan ditemukan dalam sel yang berdekatan dengan sel yang mengalami Nekrosis. Perlemakan sering terlihat di Hati karena merupakan organ utama yang terlibat dalam metabolisme lemak, tetapi juga dapat terjadi di jantung, otot rangka, ginjal, dan organ lain. Steatosis dapat disebabkan oleh Toksin, Malnutrisi Protein, Diabetes Melitus, Obesitas, dan Anoksia.

Asam lemak bebas dari jaringan adiposa atau makanan yang ditelan normalnya diangkut ke dalam Hepatosit; di hepatosit makanan diesterifikasi menjadi trigliserida, diubah menjadi Kolesterol atau Fosfolipid, atau dioksidasi menjadi Badan Keton. Beberapa asam lemak juga disintesis dari asetat di dalam hepatosit. Keluarnya trigliserida dari hepatosit harus berikatan dengan Apoprotein untuk membentuk Lipoprotein, yang kemudian melintasi sirkulasi. Akumulasi berlebihan trigliserida dapat disebabkan oleh defek pada setiap tahapan dari masuknya asam lemak sampai keluarnya lipoprotein, sehingga menyebabkan kejadian perlemakan hati setelah berbagai gangguan hati. Hepatotoksin (misalnya, alkohol) mengubah fungsi SER dan mitokondrial; CCl4 dan malnutrisi protein menurunkan sintesis apoprotein; anoksia menghambat oksidasi asam lemak; dan kelaparan meningkatkan mobilisasi asam lemak dari cadangan perifer.

Apabila ringan, perlemakan tidak memiliki efek pada fungsi sel. Perlemakan yang lebih berat secara transien dapat menganggu fungsi sel, tetapi kecuali jika beberapa proses intrasel terganggu secara ireversibel (misal, pada keracunan CCl4), perlemakan bersifat reversibel. Dalam bentuk yang berat, perlemakan dapat mengawali kematian sel, tetapi harus ditekankan bawa sel dapat mati tanpa mengalami perlemakan.

Kolesterol dan Ester Kolesteril

Metabolisme kolesterol selular diatur ketat untuk memastikan sintesis membran sel normal tanpa akumulasi intrasel yang berarti. Namun, sel fagositik bisa menjadi sangat terbebani dengan lipid (trigliserida, kolesterol, dan ester kolesteril) pada beberapa proses patologik yang berbeda.

Makrofag Scavenger (makrofag yang mengganggu reaksi kimia) berkontak dengan debris lipid sel nekrotik atau bentuk abnormal (misal, teroksidasi) lipid plasma menyebabkan terisi penuh lipid karena aktivitas fagositiknya. Makrofag ini terisi dengan vakuola lipid kecil yang terikat membran, memberikan gambaran busa pada sitoplasma (Sel Busa). Pada Aterosklerosis, , otot sel polos dan makrofag terisi dengan vakuola lipid yang terdiri atas kolesterol dan ester kolesteril; hal ini menyebabkan plak aterosklerosis berwarna kuning khas dan mempunyai kontribusi terhadap patogenesis lesi. Sekelompok makrofag yang berbusa membentuk massa yang disebut Xanthoma.

Protein

Secara morfologis, akumulasi protein yang terlihat lebih jarang terjadi dibandingkan akumulasi lipid; akumulasi protein dapat terjadi karena kelebihan protein disajikan pada sel atau karena sel menyintesis protein dalam jumlah yang berlebih.

Contohnya adalah pada Proteinuria dan akumulasi nyata Imunoglobin yang baru disintesis yang dapat terjadi di RER beberapa sel plasma, menghasilkan Badan Russel eosinofilik bulat.

Glikogen

Deposit glikogen intrasel yang berlebih disebabkan oleh abnormalitas metabolisme glukosa atau glikogen. Pada diabetes melitus yang tidak terkontrol baik, contoh utama penyimpangan metabolisme glukosa adalah akumulasi glikogen di epitel Tubulus Ginjal, Miosit Jantung, dan Sel Beta Pulau Lengerhans. Glikogen juga berakumulasi dalam sel di sekelompok gangguan genetik yang terkait erat yang secara kolektif disebut Penyakit Penimbunan Glikogen, atau Glikogenesis. Pada penyakit tersebut, defek enzim pada sintesis atau pemecahan glikogen menghasilkan penimbunan masif, dengan cedera sekunder dan kematian sel.

Pigmen

Pigmen merupakan sebstansi berwarna yang bersifat eksogen atau endogen.
Pigmen eksogen yang tersering adalah Karbon (misalnya, debu batu bara). Agregat pigmen nyata sekali menghitamkan aliran kelenjar getah bening dan parenkim paru (Antrakosis). Akumulasi berat dapat menginduksi Emfisema atau reaksi fibroblastik yang dapat mengakibatkan penyakit paru serius, disebut Pneumokoniosis Paru Penambang Batu Bara.
Pigmen endogen meliputi Lipofuscin, Melanin, dan derivat tertentu Hemoglobin.

Lipufuscin atau ‘Wear and Tear Pigment’, merupakan material intrasel glanular kuning kecoklatan tak mudah larut, yang berakumulasi dalam berbagai jaringan (terutama jantung, hati, dan otak) sebagai suatu fungsi umur atau atrofi. Lipofuscin menggambarkan kompleks lipid dan protein yang berasal dari radikal bebas perokdasi terkatalisis pada lemak Polyunsaturated membran subselular. Lipofuscin tidak mencederai sel, tetapi penting sebagai penanda cedera radikal bebas di masa lalu. Bila tampak jelas di jaringan, lipofuscin disebut Atrofi Coklat.

Melanin adalah pigmen hitam-coklat endogen yang dibentuk oleh Melanosit saat enzim Tironase mangatalisis oksidasi tirosin menjadi Dihidroksifenilalanin. Melanin disintesis secara ekslusif oleh melanosit, sel spesifik yang secara khas ditemukan pada epidermis dan berperan sebagai tabir endogen melawan Radiasi Ultraviolet yang sangat berbahaya. Walaupun melanosit adalah satu-satunya sumber melanin, Keratinosit Basal yang berdekatan di kulit dapat mengakumulasi pigmen (misalnya, bintik-bintik di kulit), atau bisa diakumulasi dalam makrofag dermal.

Hemosiderin adalah pigmen glanular yang berasal dari hemoglobin yang berwarna kuning-keemasan sampai coklat dan berakumulasi dalam jaringan saat terdapat kelebihan zat besi lokal atau sistemik. Setiap saat terdapat kelebihan beban zat bsi sistemik, hemosiderin tersimpan dalam banyak organ dan jaringan, suatu keadaan yang disebut Hemosiderosis.

Kalsifikasi Patologik

            Kalsifikasi patologik secara tak langsung menunjukkan deposisi abnormal garam kalsium, bersama dengan sejumlah kecil zat besi, magnesium, dan mineral lain.
           
Kalsifikasi Distrofik

Kalsifikasi jenis ini adalah deposisi di jaringan yang telah mati atau akan mati, terjadi dalam keadaan tidak ada kekacauan metabolik kalsium. Kalsifikasi distrofik sering merupakan penyebab disfungsi organ.

Patogenesis kalsifikasi distrofik meliputi Inisiasi (atau Nukleasi) dan Propagasi, keduanya dapat merupakan intrasel atau ekstrasel; produk akhir puncak adalah pembentukan kristal Kalsium Fosfat.

Inisiasi di tempat ekstrasel terjadi pada vesikel yang pada kartilago dan tulang normal, disebut Vesikel Matriks, dan pada kalsifikasi patologik berasal dari sel-sel yang mengalami degenerasi. Sedangkan akumulasi fosfat terjadi akibat kerja Fosfatase yang dibungkus oleh membran. Inisiasi kalsifikasi intrasel ini terjadi dalam mitokondria sel yang telah mati atau akan mati, yang telah kehilangan kemampuannya mengatur kalsium intrasel.

Setelah inisiasi di salah satu lokasi, terjadi propagasi pembentukan kristal. Keadaan tersebut bergantung pada konsentrasi Ca++ dan PO4- di ruang ekstrasel, adanya inhibitor mineral, dan gerajat kolagenasi. Kolagen meningkatkan kecepatan pertumbuhan kristal, tetapi protein lain seperti Osteopontin (suatu fosfoprotein asam yang mengikat kalsium) juga terlibat.


Kalsifikasi Metastatik

Kalsifikasi metastatik dapat terjadi di jaringan normal setiap kali terdapat Hiperkalsemia; jelas, hiperkalsemia juga memperburuk kalsifikasi distrofik. 4 penyebab utama hiperkalsemia adalah:
-. Peningkatan Sekresi Hormon Paratiroid, akibat tumor paratiroid primer atau produksi oleh tumor ganas lain.
-. Destruksi Tulang akibat pengaruh penggantian yang terakselerasi (misalnya, Penyakit Paget), imobilisasi, atau tumor.
-. Gangguan Yang Berhubungan Dengan Vitamin D dan Sarcoidosis (makrofag mangaktifkan prekursor vitamin D)
-. Gagal Ginjal, yang retensi fosfatnya menimbulkan Hiperparatiroidisme Sekunder.

Jejas Sel Reversibel dan Ireversibel

Mekanisme Umum

Dalam keterbatasannya, sel dapat mengompensasi 4 gangguan yang paling umum pada sel yang telah dijelaskan pada awal bagian, dan jika rangsang yang membuat jejas dihilangkan, sel kembali ke keadaan normal. Namun begitu, cedera yang persisten atau berlebihan menyebabkan sel melewati ambang batas dan masuk ke kondisi Jejas Ireversibel.

Keadaan tersebut disertai kerusakan luas pada semua membran, pembengkakan lisosom, vakuolisasi mitokondria, sehingga terjadi penurunan untuk membentuk ATP. Kalsium ekstrasel masuk ke dalam sel, dan cadangan kalsium intrasel dikeluarkan, menyebabkan aktivasi enzim yang dapat mengatabolisasi membran, protein, ATP, dan asam nukleat.

Namun begitu, 2 fenomena umum yang menandai keadaan ireversibel adalah:
-.Kedidakmampuan memperbaiki disfungsi mitokondria, bahkan setelah resolusi jejas asal
-. Terjadinya gangguan fungsi membran yang besar, yang dapat disebabkan oleh (1) Kehilangan progresif fosfolipid membran, (2) Abnormalitas sitoskeletal, (3) Radikal oksigen toksik, dan (4) Produk pemecahan lipid, yang memiliki efek pembersih pada membran.

Hasil akhir dari 2 hal di atas atau mekanisme kerusakan membran apa pun adalah Kebocoran Masif Material intrasel dan Influks Masif Kalsium, dengan akibat yang telah dibahas sebelumnya.

Setelah kematian sel, kandungan sel secara progresif terdigesti oleh Hidrolase Lisosomal; selanjutnya terjadi kebocoran luas enzim sel yang berpotensi destruktif, masuk ke ruang ekstrasel. Sel mati akhirnya dapat digantikan dengan massa fosfolipid berulir besar yang disebut Gambaran Mielin. Presipitat fosfolipid tersebut kemudian difagositosis oleh sel lain atau selanjutnya didegradasi menjadi asam lemak kalsifikasi residu asam lemak seperti itu menghasilkan pembentukan Sabun Kalsium.