Showing posts with label Ilmu Bedah. Show all posts
Showing posts with label Ilmu Bedah. Show all posts

Penatalaksanaan Survai Luka Bakar

Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera, sehingga penatalaksanaannya secara umum sesuai dengan penatalaksanaan cedera yang diterapkan menurut Advanced Trauma Life Support (ATLS), secara khusus menurut Advanced Burn Life Support (ABLS); dijabarkan sebagai berikut:

Survai Primer


  • Penilaian jalan nafas (Airway)

Perhatian utama ditujukan pada status pernafasan pasien yang berhubungan dengan adanya riwayat paparan saluran nafas terhadap suhu tinggi dan atau asap / sisa pembakaran yang terhisap.
Adanya cedera inhalasi dicurigai pada kasus-kasus seperti dibawah ini:
1. Riwayat terbakar di dalam ruang tertutup
2. Riwayat terpapar pada ledakan
3. Luka bakar mengenai muka
4. Bulu hidung dan alis terbakar
5. Dijumpai deposit karbon dan tanda-tanda radang akut daerah orofaring
6. Sputum mengandung karbon.
Kasus dengan kecurigaan cedera inhalasi (memenuhi salah satu dari enam kriteria diatas) masuk ke ruang resusitasi untuk memperoleh penanganan yang sesuai 


  • Penilaian mekanisme bernafas (Breathing)

Perhatian utama ditujukan pada gangguan mekanisme bernafas oleh karena adanya eskar melingkar di dinding dada dan atau adanya cedera toraks (misal pneumotoraks, hematotoraks, fraktur tulang iga dsb)
Kasus dengan kecurigaan gangguan mekanisme bernafas masuk ke ruang resusitasi untuk memperoleh penanganan yang sesuai 


  • Penilaian Sirkulasi (Circulation)

Perhatian utama ditujukan pada adanya manifestasi klinik syok1 hipovolemia intravaskular dan syok selular yang timbul pada luka bakar (yaitu: gangguan kesadaran, pucat, takikardi, nadi cepat dan tidak teratur disertai pengisian kapilar yang tidak adekuat atau uji pengisian kapilar >2detik, suhu tubuh turun baik suhu sentral maupun perifer).
Kasus dengan syok masuk ke ruang resusitasi untuk memperoleh penanganan yang sesuai 

Survai Sekunder


  • Pemeriksaan fisik

Menentukan adanya cedera dengan melakukan pemeriksaan dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, untuk menentukan cedera pada bagian tubuh termasuk adanya cedera lain / penyerta (selain luka bakar)
Menentukan luas dan derajat (kedalaman) luka bakar berdasarkan Rule of Nines2
Menentukan berat badan dan panjang badan pasien 
Baseline determinations for major burn

 Pemeriksaan laboratorium darah terdiri dari:
o Darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, protein total (albumin dan globulin), glukosa darah, fungsi ginjal dan fungsi hati.
o Pada penilaian adanya asidosis, maupun melakukan koreksi; perhatikan kadar hemoglobin dan mekanisme kompensasi tubuh. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tekanan parsial CO2, HCO3, Base excess, Na K dan cl, pH dan saturasi oksigen 

􀂃 Pemeriksaan radiologik (misal foto toraks atau kepentingan diagnostik lainnya), bila
diperlukan, dapat dilakukan setelah diyakini tidak ada masalah / gangguan jalan
nafas, mekanisme bernafas dan gangguan sirkulasi

Masalah yang berhubungan dengan luka bakar melingkar pada ekstremitas dalam memperbaiki sirkulasi ke distal.
- Perhiasan dilepaskan
- Penilaian sirkulasi di daerah distal (adanya sianosis, hambatan pengisian kapilar, adanya gangguan neurologik yang bersifat progresif)
- Untuk eskar melingkar, lakukan eskarotomi; sementara fasiotomi diperlukan bila terdapat cedera skeletal, crushed injury dan atau luka bakar yang disebabkan listrik.

Pemasangan Pipa nasogastrik

Pipa nasogastrik (ukuran 8-12F untuk dewasa, 8-10F untuk anak-anak) bertujuan untuk melakukan penilaian kuantitas dan kualitas cairan lambung. Penilaian dilakukan dengan cara memasukkan air melalui pipa nasogastrik 50ml yang dibiarkan selama 1 jam (pipa di klem 1 jam), selanjutnya lakukan aspirasi. Bila cairan aspirat (Gastric Residual Volume):
- Kurang dari 200 ml, tidak ada gangguan pasase lambung.
- >200-400ml, ada gangguan ringan.
- 400ml, ada gangguan berat.

Pemberian analgetik, sedatif dan narkotik

- Pemberian narkotik sebagai analgetik, bila diperlukan, memiliki pedoman:
􀂃   Harus menggunakan jalur intravena.
  􀂃 Harus diberikan secara kontiniu melalui infus (terbaik menggunakan infusion pump).
- Hindari penggunaan analgetik yang bersifat nefrotoksik:
􀂃   Golongan aspirin
􀂃   Golongan NSAID: Tramadol
- Pemberian analgetik perlu diberikan sebelum melakukan prosedur (penggantian balutan, posisi, fisioterapi, dsb)

Penatalaksanaan luka

Antibiotik
Penatalaksanaan nutrisi
Perawatan rehabilitasi medik

Pelaksana

Tindakan survai primer, sekunder maupun penatalaksanaan awal di Instalasi Gawat Darurat ( IGD ) dilaksanakan oleh dokter gawat darurat (ahli bedah / asisten bedah, ahli anestesi / asisten anestesi, dokter umum) yang telah menjalani kursus Advanced Trauma Life Support (ATLS) dan / atau Advanced Burn Life Support (ABLS)

Overview

Survai primer dikerjakan setelah triase pada kesempatan pertama, melakukan penilaian terhadap kondisi-kondisi gawat darurat yang menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Dengan terselenggaranya penilaian yang tepat, dilanjutkan dengan tatalaksana yang baik, pasien akan terhindar dari bahaya yang membawanya pada kematian dalam waktu singkat
.
Segera setelah melakukan penilaian dan tatalaksana survai primer, lakukan survai sekunder untuk menetapkan diagnosis dan besaran masalah sebagai dasar untuk melakukan tindakan resusitasi dan damage control yang akan menyelamatkan pasien dari kematian.

Proses

Penatalaksanaan survai primer dan sekunder dilakukan secara berurutan berdasarkan prioritas, dilanjutkan dengan penatalaksanaan yang tepat.

Managemen Tumor Abdominal

Tumor yang sangat sering terjadi pada abdomen adalah kanker kolorektal. Manifestasi klinis nya tergantung pada lokasi tumor di kolon. Gold standard dari diagnosis kanker kolon adalah pemeriksaan kolonoskopik. Sedangkan diagnosis definitif dengan acara biopsi. Kita juga harus memperhatikan serum level CEA untuk mengevaluasi pasien. Objektif treatment: pembedahan. Distribusi kanker kolorektal: rektum (77%), kolon sigmoid (31%), kolon desenden&kolon kanan (8%), kolon transversum (6%).
Diagnosis:
-          Perubahan pola percernaan seperti diare, konstipasi, narrowing of the stool yang berlangsung beberapa hari
-          Perasaan ingin boker, tetapi tetap tidak hilang walau sudah berusaha “mengeluarkan”
-          Perdarahan pada rektum, atau di dalam feses (walaupun feses terlihat normal dari luar
-          Perut kram / Cramping or steady stomach pain
-          Lemas / kelelahan
-          bukan berarti punya keluhan diatas mengarah ke kanker!
Pemeriksaan fisik:
-          Umum
-          Lokal (pemeriksaan colok dubur)
-          Anoskopi
-          Sigmoideskopi
-          Kolonoskopi
-          Barium enema


Pemeriksaan penunjang:
-          Biopsi
-          USG (liver, trans rectal)
-          Chest X-ray
-          CT-scan
-          MRI
-          PET scan (Positron Emission Tomography)/FDG-PET-scan
-          Angiography
-          Stool DNA testing]
Sebuah penelitian meta-analisis oleh Wiering dll. menemukan bahwa pemeriksaan penunjang dengan GDG-PET scan: sensitivitas 88%, spesifisitas 96.1% (untuk lesi hepatik) dan sensitivitas 91.5%, spesifisitas 95.4% untuk lesi ekstra hepatik. Strategi terapi untuk kanker kolorektal:
  Standard Surgical procedure: bedah konvesional dan operasi laparoskopik
  Radiasi kemoterapi sebelum operasi
  Termo-ablasi intra operasi
  Rescue surgery for CRLM down staged by chemotherapeutic
  Chemotherapy
Reseksi pembedahan merupakan manajemen terbaik untuk mengobati pasien kanker kolorektum, dan untuk mencegah metastasis menuju hepar, dengan tingkat 5 year survival mencapai 58%.. Sekarang kita bahas kanker pankreas ya…ini disebut-sebut sebagai manajemen tersulit dalam dunia perkankeran…momok bagi pasien dan juga dokter bedahnya. hiiii…Ada beberapa lokasi terjadinya kanker pankreas:
a.        40–60% àadenokarsinoma caput pankreas
b.       10–20% àadenokarsinoma ampulla Vater
c.        10%  àadenocarcinoma duktus biliaris distalis
d.       5–10%  à adenocarcinomas duodenum
Etiologi kanker pankreas:
a.        Merokok
b.       Genetik/keturunan (hanya 5-10% kasus)
c.        Pankreatitis kronik
d.       Diabetes melitus tipe II
e.       Malas berolahraga
f.         Memakan pestisida tertentu
g.        Suka makan karbohidrat/gula dengan jumlah banyak
Dari 75% pasien kanker pankreas, mempunyai keluhan-keluhan:
a.        Weight loss sebanyak 44 kg
b.       Jaundice obstruktif
c.        Nyeri punggungàberkaitan dengan prognosis yang buruk
d.       Hepatomegali
e.        Courvoisier sign
f.         Terjadi ikterik dengan ditambah pruritus
Pada kanker pankreas…hasil laboratorium:
  Level bilirubin meningkat (rata-rata: 18 mg/dL)
  Level fosfatase alkaline meningkat
  Serum aminotransferase meningkat
  CA 19-9 (antigen karbohidrat meningkat)
  Treatment: pembedahan Whipple / pankreatikoduodenektomi

  Bilio digestive shunt, baik secara pembedahan atau endoskopik

Penyakit Kolon

A. Hirschprung disease
                Penyakit Hirschsprung merupakan gangguan perkembangan sistem saraf enterik dan ditandai dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada colon bagian distal sehingga terjadi obstruksi fungsional. Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang didiagnosis pada masa neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika seorang neonatus tidak mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran.
                Aganglionis kongenital pada usus bagian distal merupakan pengertian penyakit Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada anus, yang selalu terkena, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang beragam. Pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya. Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui.
                Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiology Hirschsprung adalah adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi neuorblas yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblas dalam bertahan, berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan perkembangan neuronal telah terjadi pada usus yang aganglionik, komponen tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor neurotrophic.
                Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon aganglionik menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan elektrofisiologi, hal ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada perkembangan penyakit Hirschspurng. Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker yang menghubungkan antara saraf enterik dan otot polos usus, juga telah dipostulat menjadi faktor penting yang berkontribusi.
                Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal (Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah.
                Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi. Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan inhibisi.
                Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan sehingga kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali dibandingkan innervasi normal. Sistem adrenergik diduga mendominasi sistem kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fugsional

B. Diverticula
                Ukuran divertikula bermacam-macam, mulai dari 0,25-2,5 cm. Jarang timbul sebelum usia 40 tahun. Pada usia 90 tahun, seseorang bisa memiliki lebih dari satu divertikula. Divertikula raksasa memiliki ukuran sekitar 2,5-15 cm, jarang membentuk kantong yang menonjol keluar.
                Divertikulosis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya divertikula, biasanya pada usus besar. Divertikula bisa muncul di setiap bagian dari usus besar, tetapi paling sering terdapat di kolon sigmoid, yaitu bagian terakhir dari usus besar tepat sebelum rektum.
                Kebanyakan penderita divertikulosis tidak menunjukan gejala. Tetapi beberapa ahli yakin bahwa bila seseorang mengalami nyeri kram, diare dan gangguan pencernaan lainnya, yang tidak diketahui penyebabnya, bisa dipastikan penyebabnya adalah divertikulosis.  Pintu divertikulum bisa mengalami perdarahan, yang akan masuk ke dalam usus dan keluar melalui rektum.  Perdarahan bisa terjadi jika tinja terjepit di dalam divertikulum dan merusak pembuluh darahnya.  Perdarahan lebih sering terjadi pada divertikula yang terletak di kolon asendens.  Divertikulanya sendiri tidak berbahaya. Tetapi tinja yang terperangkap di dalam divertikulum, bukan saja bisa menyebabkan perdarahan, tetapi juga menyebabkan peradangan dan infeksi, sehingga timbul divertikulitis.

C. Inflammatory disorders of the colon
                Merupakan suatu gangguan fungsional dari gatrointestinal yang ditandai oleh rasa tidak nyaman atau nyeri pada perut dan perubahan kebiasaan defekasi tanpa penyebab organic. Penyakit ini diderita pada semua jenis usia dan juga pada kedua jenis kelamin. Namun lebih sering terjadi pada orang dewasa yang berusia 30-40 tahun, jarang terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan dengan pria dengan ratio wanita banding pria yaitu 2:1. Walaupun belum dapat dibuktikan namun penyakit ini cenderung menurun dalam keluarga.
                Ulcerative colitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.

D. Vascular diseases of the colon
                Bisa disebabkan oleh :
- Bacillary dysentery
- Cholera
- Salmonella
- Viral
- Parasitic (Amebic, giardia, balantidia, schistosoma, dLL)

Adenomatous polyp
                Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker (gambar 2.3). Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
                        Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker.
                Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
                        Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip.
                Neoplastik polip atau adenomatous polip (gambar 2.4) berpotensial berdegenerasi maligna; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous adenoma (gambar 2.5). Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.
                        Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 fold jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 fold pada pasien yang mempunyai multipel polip. Dari penelitian didapatkan bahwa polip yang lebih besar dari 1 cm jika tidak ditangani menunjukkan risiko menjadi kanker sebesar 2,5% pada 5 tahun, 8% pada 10 tahun dan 24% pada 20 tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat displasia. Tiga koma lima tahun untuk displasia sedang dan 11,5 tahun untuk atypia ringan.
Berikut ini table klasifikasi DUKES yang telah di modifikasi oleh  ASTLER - COLLER (MAC) :

Penyakit Usus Halus


A. Peptic Ulcer
                Merupakan rusaknya atau hilangnya jaringan mukosa sampai lamina propria pada berbagai saluran pencernaan makanan yang terpajan cairan asam lambung, yaitu oesophagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroenterostomi juga jejunum. Penyakit ini timbul terutama pada duodenum dan lambung.Ulkus peptikum sekitar 90% disebabkan oleh H. pylori, selebihnya disebabkan oleh sekresi bikarbonat mukosa, ciri genetik, dan stress.
                Pathogenesis ulkus peptikum ini adalah ketidakseimbangan faktor defensif dan faktor agresif dimana faktor agresif lebih dominan. Faktor defensif antara lain : lapisan mukus (berfungsi sebagai lubrikasi, mencegah back diffusion ion H dan pepsin, mempertahankan pH permukaan sel epitel), sekresi bikarbonat (untuk menetralisir ion H yang menembus mukus), sirkulasi darah ke dalam mukosa (menjamin kerja sel). Faktor agresif antara lain : asam lambung (bersifat korosif), pepsin (bersifat proteolitik), asam empedu, salisilat, etanol, dan asam organik lemah.
                Dibanding dengan faktor agresif, maka gangguan faktor pertahanan mukosa lebih penting untuk terjadinya ulkus peptik. Epitel saluran pencernaan mempertahankan integritasnya melalui beberapa cara, antara lain sitoproteksi seperti pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat dan aliran darah. Disamping itu ada beberapa mekanisme protektif di dalam mukosa epitel sendiri antara lain pembatasan dan mekanisme difusi balik ion hidrogen melalui epitel, netralisasi asam oleh bikarbonat dan proses regenerasi epitel. Semua faktor tadi mempertahankan integritas jaringan mukosa saluran cerna. Berkurangnya mukosa yang disebabkan oleh satu atau beberapa faktor mekanisme pertahanan mukosa akan menyebabkan timbulnya ulkus peptic.
                Normalnya, permukaan lumen dan sambungan interseluler yang ketat dari sel epitel lambung memberikan barier mukosa lambung yang hampir total impermeable terhadap difusi balik ion-ion hidrogen dari lumen. Barier ini tampaknya menjadi komponen penting dari resistensi mukosa terhadap jejas asam-peptik. Barier ini dapat terputus oleh asam empedu, salisilat, etanol, dan asam-asam lemah organik, sehingga memungkinkan terjadinya difusi balik ion-ion hidrogen dari lumen ke dalam lambung. Hal ini dapat menyebabkan jejas sel, pelepasan histamin dari sel mast, rangsangan sekresi asam yang lebih lanjut, kerusakan pembuluh-pembuluh darah kecil, perdarahan mukosa dan erosi atau ulserasi.
                Destruksi mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam patogenesis ulkus lambung. Telah diketahui bahwa mukosa antrum lebih peka terhadap difusi balik dari fundus, yang menjelaskan mengapa ulkus lambung sering terdapat pada daerah ini. Juga diduga bahwa alasan kadar asam yang rendah pada analisis lambung pada penderita ulkus lambung adalah akibat difusi balik, dan bukan karena berkurangnya produksi.
                Penyakit ini tidak berpotensi sebagai malignansi,dan meningkat pada orang yang mempunyai golongan darah O(masih dalam penelitian).

B. Chron’s disease
                 Enteritis regional atau penyakit crohn merupakan suatu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang sering berulang. Secara klasik menyerang ileum terminal, walaupun setiap bagian saluran cerna dapat terkena. Penyakit ini biasanya timbul pada orang dewasa muda dan menyerang laki-laki dan perempuan dengan perbandingan yang kira-kira sama.
                Pada beberapa dekade yang lalu, penyakit crohn lebih sering ditemukan di negara barat dan negara berkembang. terjadi pada pria dan wanita, lebih sering pada bangsa Yahudi, dan cenderung terjadi pada keluarga yang juga memiliki riwayat kolitis ulserativa. Kebanyakan kasus muncul sebelum umur 30 tahun, paling sering dimulai antara usia 14-24 tahun.  Penyakit ini mempengaruhi daerah tertentu dari usus, kadang terdapat daerah normal diantara daerah yang terkena. Pada sekitar 35 % dari penderita penyakit crohn, hanya ileum yang terkena. pada sekitar 20%, hanya usus besar yang terkena. dan pada sekitar 45 %, ileum maupun usus besar terkena.
Gejala-gejala penyakit crohn pada setiap penderitanya berbeda, tetapi ada 4 pola yang umum terjadi, yaitu: :
1.       Peradangan : nyeri dan nyeri tekan di perut bawah sebelah kanan
2.       Penyumbatan usus akut yang berulang, yang menyebabkan kejang dan nyeri hebat di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-muntah
3.       Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang menyebabkan kurang gizi dan kelemahan menahun
4.       Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah (abses), yang sering menyebabkan demam, adanya massa dalam perut yang terasa nyeri dan penurunan berat badan

C. Meckel Diverticulum
                Divertikulum Meckel’s merupakan suatu kelainan kongenital, bentuk pouch, ditemukan di usus halus bagian distal, mengandung seluruh komponen dinding usus. Divertikulum Meckel’s berasal dari kurang sempurnanya regresi duktus vitelinus (duktus omfalomesenterikus) atau kegagalan obliterasi duktus vitelinus, Normal obliterasi terjadi 5-7 minggu kehamilan, bila terjadi kegagalan obliterasi maka akan terjadi anomali dapat berupa divertikulum Meckel’s, jaringan ikat pada divertikulum ke umbilikus, torsio, enterositoma, omphaloenterikus persisten dan fistula omphalo enterikus persisten.
                Patofisiologi penyakit ini adalah awal kehidupan embrio, janin yang midgut menerima nutrisi dari yolk sac vitelline melalui saluran. Saluran kemudian mengalami penyempitan progresif dan biasanya menghilang oleh 7 minggu kehamilan. Ketika saluran gagal untuk sepenuhnya memusnahkan, berbagai jenis saluran vitelline anomali muncul. Contoh anomali tersebut meliputi:
1.        Yang gigih vitelline saluran (muncul sebagai pengeringan fistula di umbilikus)
2.       Sebuah band fibrosa yang menghubungkan ileum ke permukaan batin umbilicus
3.       Sinus vitelline paten di bawah umbilicus
4.       Bagian usus yang lenyap
5.       Sebuah saluran vitelline kista
                Divertikulum biasanya divascularisasi oleh omphalomesenteric arteri (sisa dari vitelline arteri), yang muncul dari cabang ileum mesenterika superior arteri. Biasanya, arteri berakhir di divertikulum, namun telah dilaporkan untuk melanjutkan ke dinding perut dalam beberapa kasus.
                Meckel divertikulum terjadi di perbatasan antimesenteric ileum, biasanya 40-60 cm proksimal ke katup ileocecal. Rata-rata, lebar divertikulum adalah 3 cm dan 2 cm. Divertikulum Meckel biasanya dilapisi oleh mukosa ileum, tetapi jenis jaringan lainnya juga ditemukan dengan frekuensi yang berbeda-beda.

D. Malabsorption syndrome
                Sindroma Malabsorbsi adalah kelainan-kelainan yang terjadi akibat penyerapan zat gizi yang tidak adekuat dari usus kecil ke dalam aliran darah. Dalam keadaan normal, makanan dicerna dan zat-zat gizinya diserap ke dalam aliran darah, terutama dari usus kecil. Malabsorbsi dapat tejadi baik karena kelainan yang berhubungan langsung dengan pencernaan makanan maupun karena kelainan yang secara langsung mempengaruhi poses penyerapan makanan. Penyakit-penyakit yang menyebabkan terhalangnya pencampuran yang tepat antara makanan dengan asam lambung dan enzim-enzim pencernaan, bisa mempengaruhi proses pencernaan makanan.
                Lapisan usus yang normal terdiri dari lipatan-lipatan, tonjolan-tonjolan kecil (vili) dan tonjolan yang lebih kecil (mikrovili).Tonjolan-tonjolan tersebut menyebabkan daerah permukaan untuk penyerapan menjadi lebih luas. Berbagai keadaan yang mempengaruhi daerah tersebut dapat mempengaruhi penyerapan. Contohnya adalah pengangkatan sebagian dari usus, yang akan menyebabkan berkurangnya daerah permukaan.  Kelainan yang menyebabkan terhalangnya aliran zat-zat ke dalam darah, juga akan menyebabkan berkurangnya penyerapan.  Hal seperti ini ditemukan pada penyumbatan pembuluh getah bening oleh limfoma atau berkurangnya aliran darah ke usus.
                Penderita sindroma malabsorbsi biasanya mengalami penurunan berat badan.
Jika lemak tidak diserap sebagaimana mestinya, tinja akan berwarna terang, lembek, berbau busuk dan jumlahnya sangat banyak; tinja semacam ini disebut steatorrhea. Tinja akan menempel di sisi kloset atau akan mengapung dan sulit untuk disiram. Steatorrhea merupakan akibat dari keadaan yang mempengaruhi penyerapan lemak seperti berkurangnya aliran empedu dan sariawan tropical.
                Malabsorbsi dapat menyebabkan kekurangan semua zat gizi maupun kekurangan protein, lemak, vitamin atau mineral tertentu.  Gejalanya bervariasi tergantung dari kekurangan zat apa yang dialami penderita.  Contohnya jika terjadi kekurangan enzim laktase mungkin akan mengalami diare yang menyemprot, perut kembung dan flatulen (banyak mengeluarkan gas) setelah minum susu.  Gejala lainnya tergantung pada penyakit yang menyebabkan malabsorbsi:
- penyumbatan saluran empedu bisa menyebabkan sakit kuning (jaundice).
- penurunan aliran darah ke usus bisa menyebabkan nyeri perut setelah makan.
                Biopsi (pengambilan contoh jaringan untuk pemeriksaan) mungkin diperlukan untuk menemukan kelainan pada usus halus. Contoh bisa diperoleh melalui endoskopi atau dengan menggunakan tabung/selang tipis yang panjang yang ujungnya tajam sebagai pemotong. Contoh tersebut diperiksa dibawah mikroskop dan bisa juga digunakan untuk menguji aktivitas enzim.
                Tes fungsi pankreas sering dilakukan karena kelainan fungsi pankreas sering merupakan penyebab yang sering ditemukan pada malabsorbsi.  Pada satu tes penderita menjalani diet tertentu dan pada tes yang lainnya penderita mendapatkan suntikan hormon sekretin. Pada kedua tes tersebut, cairan usus yang mengandung sekresi pankreas kemudian dikumpulkan melalui sebuah tabung dan diperiksa.

E. Tumors of the small intestine
1. Carcinoid tumor
·         Sering terjadi di appendix (di usus kecil sekitar 30%)
·         Pertumbuhan lambat, sedikit berpotensi sebagai malignansi,bahkan apabila terjadi di appendix tidak pernah terjadi metastasis
·         Sindrom Carcinoid, disebabkan oleh elaborasi vasoaktif peptide dan amin,khususnya serotonin,dengan gejala klinis seperti :
                  (1) cutaneous flushing
                  (2) watery diarrhea and abdominal cramp
                  (3) bronchospasm
                  (4) valvular lesions of the right side of the heart