Defekasi adalah anugerah yang tak terhingga
yang patut untuk disyukuri. Bayangkan jika kita menjadi sulit untuk defekasi,
pasti akan sangat mengganggu
aktivitas sehari-hari. Proses defekasi sendiri melibatkan koordinasi system
saraf pusat, perifer, dan otot-otot GI yang longitudinal atau melintang.
Sebenarnya feses harus agak berjuang
keras untuk dapat masuk ke dalam rectum sehingga seringnya rectum malah tidak berisi
feses. Ada dua sebab mengapa feses harus berjuang keras memasuki rectum, 1.
Karena ada sudut tajam rektosigmoid, 2. Karena ada sfingter fungsional lemah
antara rectum dan sigmoid (+20 cm dari anus )
Apabila
feses berhasil masuk ke dalam rectum akibat adanya massa yang cukup dan
peristaltic yang memicu maka feses tersebut akan meregangkan rectum yang
akhirnya akan menimbulkan refleks2 defekasi. Refleks yang dominan bertanggung
jawab pada proses defekasi ada 2:
1. Refleks
intrinsic
2. Refleks
defekasi parasimpatis
Refleks
intrinsic : regangan pada rectum memicu sinyal aferen menyebar melalui pleksus
mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic colon descenden, sigmoid,
dan rectum, ke arah anus. Sewaktu
mendekati anus, sfingter ani interna relaksasi karena adanya sinyal penghambat
dari pleksus mienterikus. Sekarang tinggal tergantung sfingter ani eksterna nih
yang secara sadar mau relaksasi apa tetap konstriksi.
Refleks
defekasi parasimpatis : refleks ini yang lebih kuat yang memperkuat efek refeks
intrinsic. Regangan yang timbul di rectum memicu aferen masuk ke dalam medulla
spinalis trus memberi efek ke penutupan glottis, pengambilan nafas dalam,
kontraksi dinding abdomen, dan efek yang sama seperti pada refleks intrinsic
namun lebih kuat yang diperantarai oleh nervus pelvikus (parasimpatis). Sesungguhnya kita dapat membuat
refleks defekasi bila memungkinkan yaitu dengan mengambil nafas dalam,
mengontraksikan otot abdomen, namun refleks buatan ini tidak seefektif refleks
alami ayng dijelaskan di atas tadi. Oleh karena alasan itu, orang yang
cenderung sering menghambat refleks alamiah defekasi cenderung untuk mengalami konstipasi
berat.
Definisi
konstipasi adalah kurangnya frekuensi defekasi, kurang dari tiga kali seminggu,
feses kecil2 dan keras, kadang dengan kesulitan sampai rasa tidak lampias saat
defekasi.
Konstipasi menurut Holson, 2002 :
-
Konsistensi feses keras
-
Mengejan dengan keras
-
Rasa tidak tuntas defekasi, 25%
-
Frekeunsi defekasi < 2 kali
seminggu
Banyak
mekanisme yang menjelaskan konstipasi, misalnya berkurangnya respon motorik
untuk defekasi akibat dari degenerasi pleksus mienterikus dan berkurannya
rangsang saraf otot polos sirkuler yang menyebabkan waktu gerakan usus menjadi
memanjang. Menurut
kuliah, perubahan patologis yang terjadi saat konstipasi secara umum ada tiga:
1. Diskesia
rectum, keadaan peningkatan ambang kapasitas rectum
akibat tonus rectum yang menurun. Dalam keadaan ini, rectum membutuhkan
regangan yang lebih besar ( massa feses lebih banyak dari biasanya ) untuk
dapat menimbulkan refleks defekasi. Contoh kasus yaitu pada penderita demensia
2. Dissinergia
pelvis, keadaan kegagalan relaksasi otot puborectal
dan sfingter ani eksterna saat defekasi. Otot ini normalnya kontraksi untuk
membentuk massa feses dan relaksasi saat defekasi.
3. Peningkatan
tonus rectum, yang menyebabkan kesulitan mengeluarkan feses
Penjelasan yang berkaitan dengan konstipasi :
-
Ketika pasien mengalami dehidrasi
atau mengalami hambatan defekasi, akan terjadi lebih banyak air yang
terabsorbsi dari intestinum menyebabkan feses semakin keras dan memperparah
defekasi
-
Makanan yang berserat membuat air
masuk/tertarik ke usus/feses akibat tekanan osmosis, sehingga dapat melunakKan fese dan memperlancar peristaltic.
Sebaliknya, makanan rendah serat akan memicu konstipasi.
-
Orang yang kurang kegiatan fisik
cenderung konstipasi karena aktivitas fisik dapat menstimulasi traktus
gastrointestinal dan memacu defekasi.
-
Stress memicu system nervus simpatis
dan menekan kerja parasimpatis (rest n digest) sehingga dapat menyebabkan
konstipasi.
-
Orang tua cenderung untuk mengurangi
asupan minum saat malam karena takut akan inkontinensia atau karena mencegah
jalan malam pergi ke kamar mandi. Keadaan ini menjadi factor risiko dehidrasi
dan konstipasi.
Konstipasi
merupakan efek samping obat2 berikut ini :
•
Aluminum salts in antacids
•
Antihistamines
•
Antipsychotic drugs
•
Aspirin
•
Beta blockers (medications used to stabilize irregular heartbeat,
lower high blood pressure, reduce chest pain)
•
Blood pressure medications
•
Calcium channel blockers (medication prescribed to treat high blood
pressure, chest pain, some types of irregular heartbeat and stroke, and
some non-cardiac diseases)
•
Diuretics (drugs that promote the formation and secretion of urine)
•
Iron or calcium supplements
•
Narcotics (potentially addictive drugs that relieve pain and cause
mood changes)
Faktor
risiko konstipasi pada usia lanjut (Woodward,2002)
Diet
|
Berkurangnya masukan makanan
Diet rendah serat, Kurang cairan
|
Obat-obatan
|
Antikolinergik: antispasmodik,
antidepresan, antipsikotik, antiparkinson.
Obat mengandung kation: besi, kalsium,
aluminium
Narkotika, Analgetik, Diuretik, NSAID
Penyalahgunaan pencahar
|
Metabolik & Endokrin
|
Hiperkalsemia, Hipokalemia, Hipotiroid
|
Kondisi Neurologis
|
Stroke, penyakit parkinson, Trauma medula
spinalis, Neuropati diabetika
|
Penyakit saluran cerna
|
Kanker kolon, Divertikel, Ileus, Hernia, Irritable
Bowel Syndrome, Hemoroid.
|
Kausa psikologis
|
Psikosis, Depresi, Demensia
|
Lain-lain
|
Imobilitas / kurang olah raga
Bepergian jauh
Paska tindakan bedah perut.
|
No comments:
Post a Comment