A. Hirschprung disease
Penyakit
Hirschsprung merupakan gangguan perkembangan sistem saraf enterik dan ditandai
dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada colon bagian distal sehingga
terjadi obstruksi fungsional. Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang
didiagnosis pada masa neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika
seorang neonatus tidak mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah
kelahiran.
Aganglionis kongenital pada usus bagian distal merupakan
pengertian penyakit Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada anus, yang selalu
terkena, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang beragam. Pleksus
myenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak ditemukan,
menyebabkan berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya. Mekanisme akurat
mengenai perkembangan penyakit ini tidak diketahui.
Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast.
Selama perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada
minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia
gestasi. Kemungkinan salah satu etiology Hirschsprung adalah adanya defek pada
migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi
neuorblas yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblas dalam
bertahan, berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik distal.
Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan perkembangan
neuronal telah terjadi pada usus yang aganglionik, komponen tersebut adalah
fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor neurotrophic.
Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon
aganglionik menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani
pemeriksaan elektrofisiologi, hal ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada
perkembangan penyakit Hirschspurng. Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker yang
menghubungkan antara saraf enterik dan otot polos usus, juga telah dipostulat
menjadi faktor penting yang berkontribusi.
Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus
submukosal (Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga
pleksus ini terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk
absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah.
Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron
intrinsik. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana
relaksasi mendominasi. Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik.
Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik
ini menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan inhibisi.
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak
ditemukan sehingga kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol
persarafan ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik
meningkat 2-3 kali dibandingkan innervasi normal. Sistem adrenergik diduga
mendominasi sistem kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus.
Dengan hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan
mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang
tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fugsional
B. Diverticula
Ukuran
divertikula bermacam-macam, mulai dari 0,25-2,5 cm. Jarang timbul sebelum usia
40 tahun. Pada usia 90 tahun, seseorang bisa memiliki lebih dari satu
divertikula. Divertikula raksasa memiliki ukuran sekitar 2,5-15 cm, jarang
membentuk kantong yang menonjol keluar.
Divertikulosis
adalah penyakit yang ditandai dengan adanya divertikula, biasanya pada usus
besar. Divertikula bisa muncul di setiap bagian dari usus besar, tetapi paling
sering terdapat di kolon sigmoid, yaitu bagian terakhir dari usus besar tepat
sebelum rektum.
Kebanyakan
penderita divertikulosis tidak menunjukan gejala. Tetapi beberapa ahli yakin
bahwa bila seseorang mengalami nyeri kram, diare dan gangguan pencernaan
lainnya, yang tidak diketahui penyebabnya, bisa dipastikan penyebabnya adalah
divertikulosis. Pintu divertikulum bisa
mengalami perdarahan, yang akan masuk ke dalam usus dan keluar melalui
rektum. Perdarahan bisa terjadi jika
tinja terjepit di dalam divertikulum dan merusak pembuluh darahnya. Perdarahan lebih sering terjadi pada divertikula
yang terletak di kolon asendens.
Divertikulanya sendiri tidak berbahaya. Tetapi tinja yang terperangkap
di dalam divertikulum, bukan saja bisa menyebabkan perdarahan, tetapi juga
menyebabkan peradangan dan infeksi, sehingga timbul divertikulitis.
C. Inflammatory disorders of the colon
Merupakan
suatu gangguan fungsional dari gatrointestinal yang ditandai oleh rasa tidak
nyaman atau nyeri pada perut dan perubahan kebiasaan defekasi tanpa penyebab
organic. Penyakit ini diderita pada semua jenis usia dan juga pada kedua jenis
kelamin. Namun lebih sering terjadi pada orang dewasa yang berusia 30-40 tahun,
jarang terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Wanita lebih sering menderita
penyakit ini dibandingkan dengan pria dengan ratio wanita banding pria yaitu
2:1. Walaupun belum dapat dibuktikan namun penyakit ini cenderung menurun dalam
keluarga.
Ulcerative
colitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon sekitar 1% dari
pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan
kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan
berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis.
Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30
tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi
dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi
untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan
kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan
asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker.
Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan
segera sangat esensial untuk semua pasien yang didiagnosa dengan displasia yang
berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling penting dari analisa mendemonstrasikan
bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya invasif kanker. Diagnosis
dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen
dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.
D. Vascular diseases of the colon
Bisa
disebabkan oleh :
- Bacillary dysentery
- Cholera
- Salmonella
- Viral
- Parasitic (Amebic, giardia, balantidia,
schistosoma, dLL)
Adenomatous
polyp
Kepentingan utama dari polip
bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari
kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai
dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia
menuju transformasi maligna dan invasif kanker (gambar 2.3). Aktifasi onkogen,
inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan
dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif
karsinoma.
Ada
tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu
proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper.
Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG
menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang
terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi
melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan
salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53
juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper
berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada
genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor
membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan
sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui siklus sel normal yang
dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper
secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau
salah satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan
menyebabkan penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses
terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan
waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan
waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan
masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus
proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan
kelainan siklus sel, yang sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam
mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang
tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53).
Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa kendali dan
karsinogenesis dimulai.
Secara
histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non
neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik
yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip),
limfoid aggregate dan inflamatory polip.
Neoplastik polip atau
adenomatous polip (gambar 2.4) berpotensial berdegenerasi maligna; dan
berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma
dan villous adenoma (gambar 2.5). Tujuh puluh persen dari
polip berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous
adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.
Displasia
dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari adenomatous
polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma
pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma
berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang
diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi
tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk
menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak
berhubungan dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari
kanker meningkat dari 2,5-4 fold jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 fold
pada pasien yang mempunyai multipel polip. Dari penelitian didapatkan bahwa
polip yang lebih besar dari 1 cm jika tidak ditangani menunjukkan risiko
menjadi kanker sebesar 2,5% pada 5 tahun, 8% pada 10 tahun dan 24% pada 20
tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya
derajat displasia. Tiga koma lima tahun untuk displasia sedang dan 11,5 tahun
untuk atypia ringan.
Berikut
ini table klasifikasi DUKES yang telah di modifikasi oleh ASTLER - COLLER (MAC) :
No comments:
Post a Comment